Gambar Ini Hanya Sebagai Pemanis. Sumber: Facebook |
Pada masa penjajahan kolonial Belanda di Flores, kita bisa mengetahui beberapa daerah di Flores bagian Timur merupakan basis mereka. Basis mereka itu salah satunya adalah wilayah kepulaun Solor yang pada tahun 1500-an di bangun sebuah benteng di Lohayong Solor.
Namun sebelum Belanda mengambil alih benteng Lohayong itu, benteng itu merupakan bangunan pertahanan Portugis. Portugis berhasil di pukul mundur ketika Persekutuan Kerajaan Islam Lima Pantai meliputi wilayah Adonara, Lembata, dan Solor yang dihimpun oleh Belanda untuk menyerang Benteng.
Benteng Lohayong sendiri akhirnya jatuh ke tanggan Belanda pada 1613. Tahun itupun menjadi tahun-tahun awal kejayaan Belanda di ujung Timur Flores sedangkan untuk di Flores Barat sendiri pemerintah kolonial Belanda membentuk suatu kerajaan, namun ratusan tahun setelah kejadian itu yakni pada abad ke-18 dan 19.
Menurut pemerintah kolonial Belanda saat itu, masyarakat akan semakin mudah dikendalikan apabila terorganisir secara baik.
Hal ini berarti harus ada struktur hidup berkelompok yang jelas. Dengan adanya struktur kelompok masyarakat yang jelas itu maka pemerintah kolonial akan lebih mudah juga mengontrol pergerakan masyarakat yang masih berpikir primitif saat itu. Kehidupan masyarakat dan pikiran yang primitif saat itu, tidak mengenal struktur hidup berkelompok yang lebih tinggi diatas “ulu eko”, “ili woe”, “boa ola”.
Dengan demikian Kerajaan Nage atau Zelfbestuur Nage sebagai suatu jalan keluar untuk itu. Dahulu kala Nage ditujukkan untuk orang yang bertempat tinggal di wilayah yang disebut dengan "tiga desa Nage" meliputi; Nata Nage, Nage Sapadhi dan Nage Oga.(Forth, 2010:3).
Selain itu beberapa penutur juga menjelaskan bahwa nama Nage sendiri mempunyai hubungan dengan sebuah pohon Asam (Nage, Tamarindus Indica). Tiga desa yang disebutkan di atas menggunakan simbol entik Nage karena mempunyai kesamaan yakni pelarangan bagi siapapun dalam etnik Nage untuk membakar pohon asam.
Jika ketentuan itu dilanggar maka akan mendapat balasan dari alam (saya menggunakan istilah alam untuk menerangkan kekuatan yang tak terhingga) berupa seseorang itu menderita luka-luka pada wajahnya.
Artikel Terkait: Pua Noteh Raja Ende yang Di Asingkan ke Alor dan ke Kupang
Kerajaan Nage atau Zelfbestuur Nage sendiri adalah salah satu kerajaan di Flores yang berhasil dibentuk oleh pihak Belanda untuk mengorganisir dan membentuk struktur masyarakat.
Kerajaan ini sendiri dibentuk oleh Belanda dengan mengangkat seorang pemimpin lokal yang kuat dan tentunya memiliki tanah yang luas. Sehingga dalam hal ini kita mengenal istilah Landshcap Bestuur.
Nah... Kerajaan Nage sendiri bisa disebut sebagai Zelfbestuur Nage juga atas dasar sistem penguasaan tanah oleh masyarakat lokal itu dapat juga disebut Zelfbestuur Landschap. Jadi, wilayah Flores sendiri dapat dipetakan oleh Belanda menjadi 27 Landshcap Bestuur.
Kerajaan Nage atau Zelfbestuur Nage dipimpin oleh seorang raja yang disebut Zelfbestuurunder bernama Oga Ngole. Oga Ngole sendiri diangkat oleh Belanda melalui surat keputusan Korte Verklaring tanggal 28 November 1917, No. 57, dalam perjalanannya surat ini dianggap tidak terlalu penting, namun dalam menjalankan sistem pemerintahan harus ada legalitas, maka pada tanggal 18 Agustus 1918 Korte Verklaring dan Raja Oga mulai bekerja sama dalam struktur pemerintahan yang jelas.
Namun sebelum Belanda memasuki wilayah ini, sudah ada klan-klan atau woe yang sudah mengenal seorang pemimpin bagi Klan mereka yang tidak dipilih tetapi kepemimpinannya diakui oleh anggota klannya. Pemimpin ini dikenal dengan istilah Mosa Kisa yang dapat diartikan sebagai seorang yang adil, arif, bijaksana dan mampu memperhatikan rakyatnya. Sistem kepemimpinan tradisional Nage disimbolkan dengan adanya Peo, terdapat 5 suku di pusat Kerajaan Nage yang dipersatukan dalam Peo Oko Nabe Fa artinya Peo yang satu dan Nabe yang sama (Rema dkk, Jejak Sejarah Kerajaan Nage, Jurnal Sajaratun Vol.4. Hal. 52, Unflor, 2020).