-->

Kisah Perang Penfui Dalam Upaya Menguasai Cendana

advertise here

Perang di Penfui

Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa ada upaya VOC untuk masuk dan menguasai perdagangan cendana. Hal ini terus dilakukan selama kekuasaan Topas.
Gambar Pelabuhan Tedis Kupang Tempo Dulu
Gambar Pelabuhan Tedis Kupang Tempo Dulu


Serikat dagang Belanda atau VOC ini, menunggu saat yang tepat untuk meluaskan pengaruh dan kekuasaannya ke pedalaman Timor.
Dan tibalah pada tahun 1740-an ada situasi krisis yang merupakan kesempatan bagi VOC. 

Karena Topas sebelumnya berkuasa namun, perihal ketidakpuasan terhadap kekuasaan itu, maka kerajaan-kerajaan disekitar Kupang mulai merasakan dilema terutama menyangkut kontrol mereka atas perdagangan cendana. 

Maka tahun 1748, raja Amfoang, Dom Bernardo Da Costa, mulai merencanakan pembangkangan. 

Kerajaan yang selama ini menyatakan loyalitasnya terhadap Portugis (melalui kekuasaan Topas) tiba-tiba berbalik mendukung VOC. 

Ia mendekati VOC untuk meminta dukungan, namun tidak dijawab secara tegas oleh Daniel Van der Burgh selaku residen Kupang. Konteksnya, sejak tahun 1663, kerajaan Portugis dan Belanda telah menyepakati perdamaian. Namun jauh di belahan benua sini situasinya tidak dapat dikontrol dari Eropa. 

Ada versi sejarah yang menyebutkan dukungan Van der Burgh secara diam-diam kepada aksi raja Amfo’an.

Singkat cerita, Amfo’an menyerang salah satu pusat kekuasaan Topas di wilayahnya. Pemimpin Topas waktu itu, Gaspar da Costa, sangat marah sehingga bereaksi secara brutal.

Ia mengancam para bangsawan Timor untuk tidak mengikuti pemberontak tersebut. Tapi ancaman ini justeru dilawan dengan bergabungnya kerajaan Amanuban dalam pemberontakan. Da Costa kemudian menangkap seorang saudara raja Sonba’i (kerajaan Fatuleu) dan beberapa pejabat kerajaan lain untuk dijadikan sandera sembari membunuh sekitar 120 orang-orang Sonba’i. 

Tindakan ini justeru memicu pemberontakan yang lebih luas.

Raja Sonba’i, yang saat itu merupakan raja terkuat di Timor bagian barat, dievakuasi ke Kupang bersama isteri dan anak-anaknya. Mereka dikawal oleh sekitar 2,300 pasukan bersenjata beserta sanak famili yang bila ditotal mencapai 10,000 orang. Kedatangan pengungsi dari Sonba’i dan Amanuban ke Kupang disambut gembira oleh VOC.

Gaspar da Costa yang mengetahui hal ini segera menghimpun kekuatan tentara dari kerajaan-kerajaan yang masih loyal dalam jumlah sangat besar untuk menyerbu Kupang. Menurut arsip VOC, jumlah pasukannya berkisar 30,000 sampai 40,000 orang.

Pasukan ini kemudian membangun benteng dari tanah dan bebatuan di Penfui, wilayah yang sekarang menjadi bandar udara Kupang.

Jumlah pasukan yang sangat besar ternyata tidak menjamin kemenangan. Sebagian besar pasukan dari kerajaan-kerajaan setempat tidak merasa berkepentingan dalam perang tersebut.

Tanggal 9 Desember 1759, sekitar 500 orang pasukan VOC bersenjata lengkap yang terdiri dari orang Belanda, Rote, Sabu dan Solor, berbaris menuju Penfui.


Dalam jarak tertentu di belakang mereka terdapat pasukan raja-raja Timor yang baru membelot ke VOC. Pasukan VOC membombardir posisi lawan dan mulai menyerbu.

Serangan tiba-tiba ini mengejutkan pasukan Gaspar Da Costa. Sebagian besar dari pasukannya melarikan diri, sementara ribuan prajurit yang masih tinggal habis dibunuh. Konon, Gaspar da Costa sendiri menemui ajal ditombak oleh seorang prajurit Timor.

Kekalahan Topas dalam pertempuran Penfui membawa dampak yang besar bagi peta politik di Timor selanjutnya. Pengaruh Topas dan Portugis mulai merosot, sementara pamor Belanda menanjak di mata raja-raja Timor. Ekspedisi militer Belanda yang sebelumnya hanya bisa keluar beberapa kilometer dari bentengnya mulai merangsek lebih dalam.

Di tahun 1756 sebuah kontrak perjanjian diadakan antara VOC dengan raja-raja Timor, Rote, Sabu, Sumba dan Solor. Sebanyak 48 orang menandatangani perjanjian tersebut yang dikenal dengan Paravicini Contract. Raja Wewiku-Wehali turut diantara mereka dengan mengatasnamakan 27 kerajaan lain yang berada di bawah pengaruhnya. Pada intinya, kontrak tersebut menyatakan pengakuan raja-raja Timor atas kekuasaan Belanda.

Bila memperhatikan ciri nama raja-raja yang turut menandatangani perjanjian tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar di antara mereka sebelumnya berada di barisan Topas. Contohnya: Don Bernardo (Keizer Amkono), Don Alfonso (raja Amarasi), Don Luis (raja Amanuban), Hyacintho Corea (raja besar Belu/Wewiku-Wehali), Don Louis Piniero (raja Bani-Bani) dan lain-lain.

Namun, berbaliknya situasi ini tidak berlangsung dalam waktu yang sangat singkat untuk kemenangan total Belanda. Pengakuan melalui kontrak di atas kertas pun tidak langsung diikuti dengan kenyataan di lapangan. Pemberontakan raja-raja Timor terhadap Belanda masih terus terjadi sampai ke awal abad 20, baik yang terjadi kecil-kecilan maupun dalam skala yang lebih besar. Dapat dikatakan bahwa kekalahan Topas dalam pertempuran Penfui memberikan pukulan lebih kuat pertama-tama terhadap kedudukan Portugis di Timor, lalu terhadap Topas sendiri, baru setelah itu terhadap raja-raja di Timor.

Sementara itu Topas, dengan pemimpin barunya, Antonio de Hornay yang adalah putera Jan de Hornay, masih sanggup menggalang dukungan dari sejumlah raja lokal untuk melawan Belanda. Di antara mereka yang berhasil dipengaruhi adalah raja Amarasi dan Sonba’i. Di tahun 1752 raja Amarasi bersama Sonba’i sempat merencanakan suatu pemberontakan, namun rencana ini bocor ke pihak Belanda. Raja Sonba’i, Dom Alfonso Salema, ditangkap dan dibuang ke Batavia. Di tahun 1769 Topas masih memiliki cukup kekuatan untuk memaksa gubernur Portugis di Lifau, Jendral Jose Telles de Menezes, beserta pasukannya mengungsi ke Dili dan menjadikannya ibukota pemerintahan yang baru.

Selain bahwa Topas masih cukup kuat, pihak VOC sendiri tidak sangat gencar melakukan serangan penghabisan terhadap Topas. Sebuah proposal residen Van der Burgh untuk melakukan serangan besar-besaran di Timor sebagai momentum kemenangan total VOC ditolak oleh penguasanya di Batavia.

**Terbelahnya Timor**

Di tahun 1799 VOC dinyatakan bangkrut dan resmi bubar per 1 Januari 1800. Seluruh kekuasaan VOC diambilalih oleh pemerintah kerajaan Belanda dan menamakan daerah koloninya sebagai Hindia Belanda. Memasuki abad ke 19 ini pemerintahan Hindia Belanda sempat mengalami interupsi oleh penguasa Inggris antara tahun 1811 hingga 1816.

Kekuasaan Portugis sendiri, dalam skala global, mulai melemah tetapi daerah koloninya masih cukup luas. Sejak memindahkan pusat pemerintahannya ke Dili, Portugis masih memiliki pijakan di sebagian besar daerah Timor bagian timur dan beberapa kantong di bagian barat, Flores, Bima, Alor dan Pantar.

Setelah Inggris mengembalikan kekuasaan Hindia ke tangan Belanda, terjadi beberapa kali usaha Belanda untuk menaklukkan raja-raja Timor. Pada tahun 1818 residen Timor, J. A. Hazaart menyerang kedudukan Portugis di pelabuhan penting Atapupu dan berhasil mendudukinya. Di tahun 1828 kerajaan Sonba’i kembali diserang Belanda, namun gagal. Peperangan antara kerajaan-kerajaan Timor, terutama Sonba’i dan sekutunya, melawan Belanda terus terjadi sepanjang abad ke 19. Raja Sobe Sonba’i tidak pernah tunduk kepada Belanda selama tiga generasi, dari Sobe Sonba’i I sampai Sobe Sonba’i III. Di paruh awal abad 19, pemerintahan residen Hazaart mendatangkan lebih banyak orang Rote dan Sabu, yang dinilai lebih loyal kepada Belanda, untuk mendiami pesisir utara Timor dengan tujuan membendung perlawanan Sobe Sonbai.

Sementara itu, pemerintahan Portugis di Dili semakin memandang Belanda sebagai ancaman yang akan terus melakukan ekspansi ke wilayah timur yang dikuasainya. Gubernur Lopes de Lima di Dili lantas menawarkan sebagian daerah yang (merasa) dikuasainya kepada Belanda. Wilayah-wilayah tersebut meliputi Flores, Adonara, Solor, Lomblen, Pantar, Alor dan beberapa wilayah di Timor bagian barat. Sebagai kompensasinya ia meminta harga 200,000 Guilders kepada Belanda. Belanda menyambut tawaran ini dengan senang hati dengan segera membayar uang muka sebanyak 80,000 Guilders secara tunai. Rupanya tawaran ini dilakukan gubernur da Lima tanpa sepengatahuan pemerintah Portugis di Lisabon. Lopes de Lima dicopot dari jabatannya.

Namun keberatan dari Lisabon tidak dapat membatalkan kesepakatan tersebut. Kedua penguasa kolonial kemudian merundingkan pembagian wilayah Timor yang berujung pada Perjanjian Lisbon di tahun 1859. Pembagian wilayah ini pun menghadapi sejumlah perselisihan tapal batas yang kemudian diselesaikan lewat pengadilan arbitrase. Baru di tahun 1914 pengadilan arbitrase mengeluarkan keputusan mengenai batas-batas wilayah Timor Portugis dan Timor Belanda.

Tentu saja kesepakatan antara dua penguasa kolonial ini tanpa menanyakan persetujuan dari raja-raja apalagi rakyat Timor sendiri. Bila dilihat dari kacamata sekarang, sebagai bangsa merdeka, memang sesuatu yang menggelikan ketika penguasa kolonial merasa memiliki tanah dan pulau-pulau tersebut kemudian memperjualbelikannya di antara mereka. Tapi itulah yang terjadi dan telah menjadi catatan sejarah.


Referensi:

ADM Parera, Sejarah Pemerintahan Raja-Raja Timor, Suatu Kajian Atas Peta Politik Pemerintahan Kerajaan-Kerajaan di Timor sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, 1994.
* Hans Hagerdal, Lord of The Land, Lord of The Sea: Conflict and Adaptation in Early colonial Timor 1600 – 1800, KITLV Press Leiden, 2012.
* Robert Harrison Barnes, Sea Hunter of Indonesia: Fisher and Weavers of Lamalera, Clarendon Press Oxford, 1996.
* Hans Hagerdal, Responding To The West, Essays on Colonial Dominations and Asian Agency, Amsterdam University Press, 2005.
* James J. Fox, Tracing the Path Recounting the Past, makalah dalam buku Out of Ashes: Deconstruction and Reconstruction of East Timor, Edited by James J. Fox and Dionisio Babo Soares, Crawford House Publishing, 2000.
* Didik Prajoko, Perebutan Pulau dan Laut: Portugis, Belanda dan Kekuatan Pribumi di Laut Sawu Abad XVII-XIX, Makalah, 2006.
* Wikipedia, History of East Timor, https://en.wikipedia.org/wiki/History_of_East_Timor