Topas dan Raja-Raja Timor
Orang-orang Portugis yang berada di Larantuka tetap memandang Belanda sebagai musuhnya. Banyak di antara mereka yang menikahi wanita Flores ataupun Timor sehingga menghasilkan turunan campuran antara Portugis, Timor, Flores dan Belanda.
Terdapat juga pasukan Portugis pelarian dari Malaka yang berasal dari India maupun Afrika. Campuran dari keseluruhan mereka ini yang kemudian dijuluki Portugis Hitam oleh Belanda, atau juga dikenal dengan nama Topas.
Istilah “Topas” sendiri kemungkinan berasal dari kata “topi”, karena kaum ini menamakan dirinya sebagai “Gente de Chapeo” (Orang-orang Bertopi).
Marga atau nama keluarga yang terkenal dan kemudian menjadi pemimpin kelompok ini adalah Da Costa dan De Hornay. Mateus da Costa adalah perwira Portugis yang menikahi seorang wanita Timor di Larantuka. Sedangkan Jan de Hornay adalah seorang desertir, bekas perwira Belanda komandan benteng Solor, yang kemudian menikahi puteri raja Amanuban di Timor.
Kedua dinasti ini menjadi partner sekaligus saling bersaing untuk memimpin kaum Topas sampai lebih dari dua ratus tahun.
Ekspedisi di Larantuka dan Timor
Topas di Larantuka mulai tertarik dalam perdagangan kayu cendana yang mendatangkan keuntungan besar. Untuk itu sebuah ekspedisi dikirim ke Timor tahun 1640 dan mendarat di Lifau , daerah yang sekarang menjadi enclave Oekusi, bagian dari negara Timor Leste.
Ekspedisi ini kemudian terus masuk hingga ke pedalaman Timor. Di tahun 1641 sejumlah misionaris Portugis berhasil mendirikan semacam benteng di Kupang.
Di tahun 1642, seorang Topas bernama Francisco Fernandez memimpin pasukan untuk menyerang kerajaan yang sangat berpengaruh di pesisir selatan bernama Wewiku-Wehali.
Kerajaan tersebut dibakar rata dengan tanah. Keberhasilan serangan ini membuat Topas leluasa mengambilalih kendali perdagangan cendana di Timor.
Keberadaan Topas lambat laun menjadi kekuatan politik yang menguasai sebagian besar daratan dan pesisir Timor bagian barat. Penguasaan para Topas atas persenjataan, kepiawaian berperang serta kemampuan berbahasa Portugis, Melayu sebagai lingua franca, dan bahasa daerah (Timor dan Flores), membuat mereka disegani oleh banyak raja-raja Timor.
Di sini mereka memaksa raja-raja tersebut untuk menjadikan Topas sebagai satu-satunya pengepul cendana untuk diperdagangkan ke luar pulau. Topas lah yang menentukan harga cendana dan tidak mengijinkan siapapun (kecuali mereka sendiri) menjual cendana kepada orang asing.
Perlu sedikit diketengahkan mengenai struktur politik dan budaya di Timor. Pada zaman kedatangan Topas itu, pulau Timor terdiri dari sedikitnya puluhan kerajaan kecil. Pada umumnya, tiap kerajaan merupakan gabungan dari sejumlah suku atau klan dengan pembagian peran bagi masing-masing suku atau klan di dalamnya. Kedudukan masing-masing suku relatif setara, tetapi terdapat juga kelas sosial yang muncul karena pembagian peran tadi.
Di dalam suku-suku tersebut diterapkan perkawinan cross-cousin (semacam pariban dalam tradisi Batak) dengan sistem eksogami atau tidak diijinkan perkawinan dalam satu suku/klan, baik patrilineal maupun matrilineal.
Tanah suku dimiliki secara komunal dengan pengaturannya oleh kepala suku. Setiap individu dipastikan terikat dengan salah satu suku, atau, bila sampai diusir/diasingkan karena melakukan kesalahan tertentu, terpaksa harus menawarkan diri ke dalam satu ikatan suku atau klan lain agar bisa bertahan hidup.
Tidak ada individu yang dapat survive tanpa tergabung dalam satu suku. Resiko terburuk saat menawarkan diri demikian adalah ia dijadikan budak atau hamba oleh suku yang mengambil. Bila bernasib baik maka ia diangkat menjadi saudara.
Beberapa kerajaan di bagian Barat yang kiranya penting untuk disebutkan di sini antara lain; Helong (suku bangsa yang menguasai wilayah yang sekarang menjadi kota Kupang), Amarasi, Amabi, Amanuban, Amanatun, Amfo’an, Molo dan Fatuleu. Sementara di bagian tengah dan timur terdapat lebih banyak kerajaan. Beberapa catatan sejarah menyebutkan kerajaan yang paling berpengaruh di antara mereka yakni Wewiku-Wehali, Bauho, Suai-Kamanasa dan Insana. Wewiku-Wehali, dalam syair adat sejumlah kerajaan di Timor dan catatan sejarah, dinyatakan pernah menjadi pusat bagi sebagian besar (bila tidak seluruh) kerajaan di Timor. Mungkin ini menjadi alasan serangan Topas ke kerajaan tersebut di tahun 1642.
Di tahun 1653 VOC merebut benteng Portugis di Kupang dan kemudian menamainya benteng Concordia. Namun mereka hanya bisa eksis di sekitar kota Kupang sembari coba membangun aliansi dengan beberapa kerajaan kecil di sekitarnya. Selama beberapa tahun berikut VOC selalu gagal menjalankan ekspedisi untuk masuk ke pedalaman Timor. Tahun 1656 VOC mendatangkan Jenderal Arnold de Vlamingh van Oudtshoorn, dengan 800 pasukannya yang baru menaklukkan Kesultanan Ternate. Mereka berusaha merangsek masuk ke pedalaman Timor. Dua kali usaha itu dilakukan dan keduanya menuai kekalahan yang memalukan.
Sementara Portugis yang tersingkir dari Solor dan Kupang mulai mendirikan pusat pemerintahannya di Lifau. Di tahun 1702 perwakilan pemerintahan untuk seluruh Sunda Kecil ditunjuk secara resmi dengan mengangkat António Coelho Guerrei sebagai gubernurnya.
Topas secara samar maupun terang-terangan memusuhi Belanda. Mereka bisa bekerjasama namun juga berperang. Demikian halnya terhadap Portugis. Mereka tidak mengakui perwakilan Portugis, baik yang berkuasa di Timor ataupun perwakilannya yang lebih tinggi di Goa. Kedatangan perwakilan pemerintah Portugal di Lifau beserta pasukannya menghadapi pengepungan dan serangan bertubi-tubi dari Topas. Cita-cita politik mereka adalah menjadikan Timor sebagai negeri berdaulat dengan hubungan langsung dengan Monarki Portugal. Atau, dengan lain kata, merekalah yang harus ditunjuk oleh monarki Portugal sebagai penguasa setempat.
Bagaimanapun, dengan penguasaan lapangan yang demikian baik, kemudian ‘strategi’ kawin-mawin antara para pemimpin Topas dengan puteri-puteri bangsawan setempat, maka secara de facto Topas menjadi kekuatan yang paling berkuasa di Timor. Untuk waktu yang cukup lama Portugis hanya dapat bergerak di sekitar Lifau (kecuali para paderi yang diijinkan masuk sampai ke pedalaman), sama seperti Belanda yang hanya dapat bergerak di sekitar Kupang.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa peta politik di pulau Timor sepanjang abad 17 hingga akhir abad 19 diwarnai oleh empat kekuatan politik utama, yaitu; Portugis, Belanda, Topas dan raja-raja Timor. Keempat kubu ini dapat saling bekerjasama di suatu waktu dan berperang di waktu yang lain. Di suatu waktu dapat bersekutu untuk memerangi kubu lain dan ketika kepentingannya telah tercapai dapat berbalik dan mengganti sekutu untuk memerangi sekutunya semula. Situasi baru relatif stabil ketika memasuki abad 20 ketika Belanda berhasil mendirikan pemerintahannya di seluruh Timor bagian Barat.
Sumber: FB Marcel Paga