CERITA GUNUNG LAKAAN GUNUNG LAKAAN DI BELU
Menurut cerita orang tua-tua di Belu, pada jaman dahulu kala, seluruh
Pulau Timor masih digenangi air, kecuali puncak Gunung Lakaan, yang letaknya di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Indonesia sekarang.
Konon gunung ini adalah yang tertinggi di seluruh Kepulauan Timor. Ia berkibar seperti bintang yang kilang-kemilau. Maka karena posisinya yang menjadi puncak tertinggi satu-satunya di Timor, ia dijuluki: SA MANE KMESAK, BAUDINIK KMESAK, LAKA-AN, NAKSINAK-AN: SANG PUTRA TUNGGAL, SANG BINTANG SATU-SATUNYA, BERCAHAYA SENDIRI, BERSINAR SENDIRI.
Ketika air masih menutupi seluruh permukaan bumi, puncak Gunung Lakaan sendirilah yang muncul pertama kalinya. Sampai ada sapaan adat Tetun yang mengatakan: Gunung Lakaan ibarat biji mata ayam, bagaikan belahan pinang, laksana segumpal nasi, seperti pusar uang perak. Atau dalam bahasa Tetunnya: FOIN NUU MANU MATAN, BUA KLAUT, FOIN NUU ETU KUMUN, FOIN NUU MURAK HUSAR. Dan sapaan itu dilanjutkan dengan: MAK NAHU, MAK NAMATA, RAI HUSAR, RAI BINAN: Dialah yang memulai, dialah yang awal, dialah tanah pusat, dialah tanah kaum kerabat, semua saudara-saudari.
Dalam sejarahnya yang panjang, Gunung Lakaan dan keturunannya disapa dengan julukan: MANUAMAN LAKAAN (AYAM JANTAN LAKAAN) NO NIAN FUNAN KLAUT (DAN SEMUA KETURUNANNYA).
Walau kemudian nanti di suatu masa, terjadi patahan karena pergeseran dan evolusi bumi, yang dalam istilah adat Tetun: SABEBEN TI'A, SALULUN TI'A, JATUH MENYAMPING DAN TERGULUNG. Dan akibat patahan itulah, salah satu bagian puncak Gunung Lakaan kemudian beralih ke arah timur laut, dan menjadi sebuah anak gunung.
Tentu patahan dasyat itu membuat orang bertanya-tanya: APA YANG TELAH JATUH? Dalam Bahasa Tetun disebut: SA NEE MONU? Dan disingkat: SANMONU. Kelak anak gunung itu dinamakan SA-MONU. Dan anak gunung dari Gunung Lakaan itu kini bisa dijumpai di wilayah Sanirin-Balibo, Timor Leste.
Konon rute perjalanan patahan Gunung Lakaan itu berawal dari pusat Gunung Lakaan, melintasi Leimeri dan akhirnya "mendarat" di Samonu. Leimeri adalah wilayah perbukitan di perbatasan Indonesia-Timor Leste sekarang yang menghubungkan Lakaan dan Samonu. Maka ada julukan adat Tetun: SAE LAKAAN, LETEK LEIMERI, TUN SAMONU: MENGGAPAI PUNCAK LAKAAN, MELINTASI LEIMERI DAN TURUN BERDIAM DI SAMONU.
LAKA LORA KMESAK, PUTRI PERTAMA DI PUNCAK GUNUNG LAKAAN
Pada suatu hari turunlah seorang putri dewata di puncak Gunung Lakaan dan tinggallah ia di sana. Putri dewata itu bernama LAKA LORA KMESAK (atau kadang disebut LAKA LORO KMESAK) yang dalam bahasa Tetun berarti Putri Tunggal yang tidak berasal usul.
LAKA LORO KMESAK adalah seorang putri cantik jelita dan luar biasa kesaktiaannya. Karena kesaktiannya yang luar biasa itu, maka LAKA LORO KMESAK dapat melahirkan anak dengan suami yang tidak pernah dikenal orang. Itulah sebabnya Laka Loro Kmesak dijuluki dengan nama NAIN BILAK-AN, yang artinya berbuat sendiri dan menjelma sendiri.
PUTRA-PUTRI LAKA LORO KMESAK
Beberapa tahun kemudian Putri LAKA LORO KMESAK berturut-turut melahirkan dua orang putra dan dua orang putri. Kedua putranya diberi nama masing-masing, ATOK LAKAAN DAN TAEK LAKAAN. Sedangkan kedua putrinya masing-masing diberi nama : ELOK LUA LOROK dan BALOK LUA LOROK.
Setelah keempat putra-putri ini dewasa mereka dikawinkan oleh ibunya karena di Puncak Gunung Lakaan tidak ada keluarga lain. Julukan adat Tetunnya adalah: KARAS TAKA MUTU, BELAN RAI LIBUR, artinya Dada dirapatkan, Samping disatukan.
Atok Lakaan kawin dengan Elok Lua Lorok dan Taek Lakaan Kawin dengan Balok Lua Lorok.
Atok Lakaan dan Elok Lua Lorok, sesudah perkawinan mereka, pindah menetap di tempat yang lebih rendah, karena surutnya air laut. Mereka memilih menetap di Bukit Nanaet Dubesi, sebelah barat daya Gunung Lakaan.
Dari perkawinan Atok dan Elok, lahirlah lima orang anak, empat laki-laki dan seorang perempuan.
1) Deu Mauk
2) Timu Mauk
3) Lida Mauk
4) Dilu Mauk
Deu Mauk menetap dan berkuasa di Mandeu (Raimanuk sekarang), Timu Mauk menetap dan berkuasa di Naetimu (Halilulik sekarang), Lida Mauk menetap dan berkuasa di Lidak (Kota Atambua sekarang) dan Dilu Mauk menetap dan berkuasa di Dualilu (Atapupu sekarang). Sedangkan seorang saudari mereka, pergi dan menetap di Selaoan (Silawan sekarang).
Sedangkan Taek Lakaan dan istrinya Balok Lua Lorok, kawin dan terus menetap di sekitar kawasan puncak Gunung Lakaan. Lahirlah empat orang anak, dua laki-laki dan dua perempuan dari perkawinan Taek dan Balok, masing-masing:
1) DASI BAU MAUK LOROK (laki-laki)
2) DABA LOROK (perempuan)
3) LAKA LOROK (laki-laki)
4) ALUK LOROK (perempuan).
Dasi Bau Mauk Lorok mengawini saudarinya Daba Lorok sedangkan Laka Lorok mengawini saudarinya Aluk Lorok.
Sayang sekali bahwa kelak tidak diketahui secara pasti ke mana perginya pasangan Laka Lorok dan Aluk Lorok beserta keturunannya, karena sesudah perkawinan Laka dan Aluk, keduanya langsung hijrah ke tempat baru yang juga mulai surut airnya. Kemungkinan mereka memenuhi kawasan timur Gunung Lakaan, dan sebagian anak-cucu mereka kelak menyeberang ke Sabu dan Rote (Sabu Mau, Ti Mau).
Dasi Bau Mauk Lorok dan Daba Lorok sebagaimana orangtuanya, mereka pun tetap menetap di sekitar Puncak Gunung Lakaan.
Bau Mauk dan Daba inilah yang kelak mendirikan Kerajaan Besar di Belu yakni Fehalaran. Bau Mauk dan Daba Lorok dikaruniai banyak anak.
Anak-anak pasangan ini antara lain:
- TETI BAUK (hijrah ke Lubarlau-Ramelau, lalu menetap di Likusaen dengan gelar: Mali Bere Likusaen)
- BERE BAUK (hijrah ke Lubarlau-Ramelau, lalu ke arah selatan dan menetap dan berkuasa di Wehali (dengan gelar Bereliku Wehali).
- LULUN BAUK (yang kelak dikenal dengan julukan LULUN SAMARA), yang terus melanjutkan misi kerajaan dari ayahnya Bau Mauk Lorok dan mengembangkan Fehalaran sebagai kerajaan paling berpengaruh di Timor dan sekitarnya, antara lain karena kepahlawanan LULUN-SAMARA berkiprah menolong Wehali memenangkan perang Wehali-Likusaen (FUNU NO LEDO LIKUSAEN-WEHALI).
- Dasi Tuka Mauk berlayar ke Pulau Flores lalu kawin, menetap dan berkuasa di sana. Dialah yang mendirikan Kerajaan Larantuka Bauboin.
- Dasi Boki Mauk menetap di Biboki
- Dasi San Mauk menetap di Insana
- Dasi Leku Mauk menetap di Lakekun.
- Teni Mauk menetap di dataran rendah Fehalaran (Natarmeli Bauho); kelak mengadakan ekspansi dan perluasan kekuasaan Tetun Fehalaran hingga ke Torilai-Balibo-Diruati-Mauubu-Bobiknuan-Maubara-Atabae-Leimea.
- Bere Mauk menetap di Fulur Lamaknen dan mendirikan Suku Hak Por.
MATRILINEAL
Dari rangkaian kisah sejarah di atas: berawal dari sang tokoh leluhur tunggal seorang putri bernama, LAKA LORO KMESAK, maka kelak muncullah di TANAH BELU, TIMOR, kebudayaan MATRILINEAL, di mana peran kaum Ibu sangat dijunjung tinggi, dan kalau seandainya, sebuah perkawinan dilangsungkan, maka secara otomat, anak-anak akan masuk ke dalam klan atau rumah suku (UMA MANARAN) Ibu.
Matrilinealitas masyarakat Tetun, Timor ini pula, telah mempermudah Gereja Katolik berakar di seluruh Belu dan devosi kepada Bunda Maria, sebagai Bunda Allah, dengan mudah dan mendalam, berkembang di tengah umat Katolik Timor.
1. Lekat inur-kabitak warak be warak / Nake lian tan ami warak be warak Make-an tan ami warak be warak / Make warak nafati inur-kabitak! Alangkah banyak katak berhidung pesek / Banyak berteriak melawan kami, Biar pun Anda meneriaki kami / Anda tetaplah berhidung pesek.
Artinya: Kita harus punya prinsip: Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Sesekali prinsip itu harus dipakai dalam menghadapi orang yang sebenarnya tidak tahu banyak tetapi selalu berlagak di depan kita tahu segalanya. Dalam adat Tetun di Pulau Timor, orang demikian diibaratkan dengan katak berhidung pesek yang cerewetnya minta ampun.
2. Naha Timor nian atu tula ba se? / Tula ba se atu natiu bodik
Bele-bele ita hirak tula ba malu / Naha Timor nian atu hatiu lisuk.
Beban Tanah Timor hendak dipikulkan kepada siapa? / Siapa hendak memikulnya?
Terpaksa kita sendirilah yang harus bersama-sama/ Menanggung dan memikul beban Negeri Timor.
Syair di atas merupakan ajakan bagi semua anak negeri untuk bahu-membahu menyumbangkan waktu, pikiran, tenaga dan segenap kekuatan untuk membangun negeri tercinta, sehingga ringanlah penderitaan rakyat dan kemajuan dapat dicapai bersama.
3. Kukur botu tarutu eman rai ba / Rai neon no laran rai ba se?
Dok ina dok ama keta neon kiki / Rai neon no laran ba Maromak.
Guntur bergemuruh saat merantau jauh di negeri orang / Mau curhat kepada siapa?
Walau jauh ayah-bunda janganlah gentar / Curhatlah kepada Tuhan Penghiburmu.
Hidup di perantauan tidak selamanya berjalan mulus, dan sering membuat hati kita rindu kampung halaman dan nyaris putus asa. Nah, di saat seperti itu, kita perlu lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.
4. Kiak ema raiklaran kiak be kiak / Funu tadu narahun kiak be kiak
Kiak ita sarani kiak liu dei / Soe hela Maromak kiak liu dei.
Sangatlah miskin dan susah hidup di dunia ini / Musuh datang berperang menghancurkan segala harta-benda kita /
Namun lebihlah miskin kita umat beriman / Seandainya kita sampai melupakan Tuhan.
Tentu ini pesan moral untuk selalu tunduk dan berserah diri kepada kekuasaan Tuhan melampaui segalanya di dunia ini.
5. Dalan hirak ne’e no’i diak e lale? / Ami ata haka’as-an atu liu tone
Dalan wa’in be wa’in ida dei di’ak / Inuk Tuan Lale’an di’ak be di’ak.
Semua jalan ini baik atau tidak? Hamba hendak berusaha menembus ke sana
Banyaklah jalan di dunia ini / Hanya jalan surgawi sungguhlah baik.
Ini merupakan inspirasi untuk kita selalu menomorsatukan jalan Tuhan sebagai jalan terbaik bagi hidup kita di dunia fana ini.
6. Rukut ne’an tan ami manoin lai / Ami ata at liu derak be derak
Totar kelun tan ami manoin netik / Ita tetuk no nesan M(a)romak oan bele!
7. Rai Fehalaran rai diak a nian / Ina-ama tur fatin diak a nian
Rai Fehalaran naran todan a nian / Manu Aman Laka-an leok lema rai.
8. Sa Mane Mesak a Baudinis Mesak / Oa Belu Rai Timur Turu-monu Fatin
Manu Aman Laka-an Foho As Basuk / Laka Naroma Rai Loron no Kalan.
9. Mo matas sia tur mamon-an oda / Ina-ama lia sai o moe lerek
Nakbasak-an ba mai na’i dana-danak / Atu tama la di’ak sai la bele.
10. SILOLE TALIN
Pantun ini menggambarkan Timor dengan segala daya tariknya yang mana mengundang pelbagai bangsa asing datang untuk berkuasa; Toh akhirnya, kendali kuda, tetaplah di tangan Anak-anak Timor)