SUKU JAWA
Orang Batak, orang Karo, orang Simalungun Atas, orang Pakpak, orang Angkola dan orang Mandailing tidak merasa terusik dengan keberadaan orang Jawa, sebab di daerah mereka penduduk lokal masih mayoritas.
Tapi coba tanah leluhur anda berada di Kabupaten Simalungun, di mana suku Jawa menempati posisi 46% dari total penduduk, suku Batak 31%, justru suku Simalungun yang tinggal di Kabupaten Simalungun hanya sekitar 17%.
Bahkan Wakil Bupati Simalungun saat ini adalah suku Jawa bernama Jonni Waldi. Tanah Simalungun satu-satunya daerah di luar tanah Melayu yang jadi sasaran masuknya kuli kontrak Jawa, karena tanah Simalungun yang paling subur dari semua tanah suku bermarga di Sumatera Utara. Tanah Simalungun dari segi topografi terbagi 2, Simalungun Atas dataran tinggi dan berhawa sejuk.
Suku Jawa di sini minoritas, sehingga suku Simalungun yang tinggal di Simalungun Atas merasa santuy. Lalu Simalungun Bawah dataran rendah di mana banyak berdiri perkebunan sawit dan karet.
Di kawasan ini area perkebunan lebih luas dibanding pemukiman penduduk. Suku Jawa anak turunan kuli kontrak sangat mudah ditemukan di area perkebunan dan jumlah mereka mayoritas melampaui suku Batak dan suku Simalungun.
Suku Jawa hidup eksklusif, mereka lebih senang bergaul dengan sesama mereka. Di Simalungun Bawah bertabur nama kampung berbahasa Jawa bahkan nama pemandian terkenal dekat Kota Pamatang Siantar bernama Karang Sari/Karang Anyer.
Kampung-kampung yang berbahasa asli Simalungun banyak yang mereka plesetkan seperti Gajing Kaheian diplesetkan jadi Bajing Kayan, Dolog Kahean diplesetkan jadi Dolok Ayan, Dolog Maranggir mereka plesetkan jadi Dolok Merangir, Bah Tobu jadi Bah Tebu, Sorbalawan jadi Serbelawan, dan banyak lagi yang lain.
Saya akui suku Jawa mmg tidak senang dengan keributan, mereka suku yang cinta damai. Tapi keunikan mereka rasa ingin tahu atau mempelajari budaya tempatan sangat minim.
Di Sumatera Utara sejak akhir abad 19 sudah masuk suku Jawa sebagai kuli kontrak di tanah Deli yang bekerja sebagai kuli perkebunan tembakau dan di Simalungun sebagai kuli perkebunan sawit. Meski mereka sudah lebih dari 100 tahun berdiam di Sumatera Utara tapi sangat jarang dari mereka yang paham bahasa tempatan seperti bahasa Batak, bahasa Simalungun, bahasa Karo, bahasa Mandailing, dan bahasa Melayu.
Mereka tahunya cuma bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, bagi suku Jawa prinsip di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung tidak ada. Kalau jumlah suku Jawa minoritas, mereka baru mau bergabung dengan suku tempatan dan mempelajari bahasanya.
Tapi kalau jumlah mereka sudah banyak, mereka akan hidup eksklusif membangun pemukiman sendiri agar bisa bergaul sesama mereka dan ketika sudah mayoritas di suatu kampung mereka akan merasa superior sehingga enggan mempelajari bahasa daerah tempatan.
Saya asli suku Simalungun, saya bisa bahasa Jawa karena sering mendengar org Jawa berbicara, tapi sebaliknya org Jawa di kampung saya justru jarang yang bisa berbahasa Simalungun.
Di beberapa kecamatan di Simalungun Bawah yang jumlah org Simalungunnya minoritas justru banyak yang lebih paham bahasa Jawa dibanding bahasa Simalungun.
Saudara laki-laki ayah saya ada yang menikah dengan wanita Jawa, anak-anak mereka adalah sepupu saya.
Mereka masih tinggal di Kabupaten Simalungun, tapi sepupu saya tersebut tidak ada yang fasih berbahasa Simalungun sebab sejak kecil sudah dibiasakan oleh ibunya berbahasa Jawa.
Di kampung saya pada zaman Belanda dibangun 6 buah kampung untuk pemukiman orang Jawa, dari kampung 1-6 dan setelah Indonesia merdeka 6 kampung ini mereka ganti jadi Purwosari, Purwodadi, Wonorejo, Purbaganda, Kandangan, dan Sumberjo.
Kami sendiri orang Simalungun tetap terbiasa menggunakan penyebutan kampung 1-6, kami tidak mau mengikuti nama baru buatan mereka.
Foto: Suku Jawa di tanah Simalungun pada zaman Hindia Belanda yang bekerja sebagai kuli di perkebunan.