-->

Awal Imam Diosesan Di Larantuka

advertise here

Imam diosesan Larantuka
Peta Wilayah Kerja Pastoran di Dioses Larantuka


Pada abad 18 hingga abad 19 telah terjadi peperangan hebat di wilayah Eropa yang mengakibatkan krisis besar. Krisis ini menyebabkan karya misi imam katholik menjadi terhambat, mulai dari Portugis hingga ke wilayah Nusa Tenggara Timur.

Di Nusa Tenggara Timur, ada beberapa wilayah yang masih bisa dikunjungi oleh para imam dari wilayah Timor yakni Dili yaitu daerah Sikka dan Larantuka.

Beberapa catatan sejarah mengungkapkan bahwa pada tahun 1834 semua imam dari daerah misi Portugis di usir.

Selain itu konflik berkepanjangan antara Portugis dan Belanda menyebabkan semakin terdesaknya posisi Portugis untuk keluar dari wilayah Indonesia Timur.

Jika anda sebelumnya membaca mengenai artikel di tanah Lembata mereka sering melihat kejadian Alam yang Dahsyat dan artikel lain Para Martir di Lembata, maka anda akan menemukan karya misi pastor Dominikan di wilayah Flores dan Solor. 

Berbagai konflik terjadi pada tahun-tahun itu pada masa kelamnya karya misi. Hingga pada 1851 pulau Flores masuk dalam wilayah Belanda. Kembali catatan sejarah dengan jelas memberitahukan setelahnya, pada 1859 yang akhirnya Portugis menyerahkan wilayah-wilayah Nusa Tenggara Timur kepada Belanda.

Namun, beberapa wilayah juga tidak di berikan. Dengan demikian adapun wilayah yang tidak di serahkan pada Belanda yaitu Timor bagian Timur, dan enclave Oikusi. 

Pater Alex dalam bukunya memberikan penjelasan bahwa ketika Portugis keluar dari Flores, rupanya umat katholik sudah menjadi 25.000 sampai 30.000 orang.

Namun jumlah ini menurun seiring berjalannya waktu karena sewaktu Portugis meninggalkan Flores, ternyata para pater Dominikan ditarik kembali dari wilayah Larantuka. Sehingga pada tahun 1853 ketika misionaris C de Hessel mengunjungi tempat ini ternyata umat hanya 3.000 orang.

Daripada konflik ini, maka pada tanggal 20 April 1859 pihak Belanda dan Portugis bersepakat membuat suatu kontrak untuk menjamin kebebasan beragama bagi penduduk pribumi dan batas-batas wilayah kedua kekuatan kolonial. 

Namun, hal itu tidak kunjung memberikan angin segar, pasalnya Belanda tidak menginginkan umat Katholik di wilayah jajahannya masih tunduk pada Portugis jika ada urusan mengenai gereja. 

Belanda yang terus menjajah wilayah Larantuka itu kemudian menjadikan umat yang beragama katholik sebagai hamba-hambanya. 

Oleh karenanya timbul pemikiran oleh umat katholik bahwa merasa harga diri mereka di jual kepada Belanda.

Mulai di dari sinilah pemerintah Belanda mulai menyadari hal ini maka untuk menjamin kebebasan beragama bagi umat maka melalui Mgr. Vrancken, Vikaris Apostolik Batavia dan Wali gereja Hindia Belanda untuk menunjuk seorang imam dari Belanda yang dapat menjadi Pastor di Larantuka.

Maka untuk itu, ditunjuklah Yoh. P.N. Sanders yang mulai bertugas di Larantuka pada tanggal 4 Agustus 1860.

Pater Sanders pun mulai melakukan pembinaan terhadap kaum mudah juga membuka sekolah berbahasa Melayu.

Segalah upaya yang dilakukan pater Sanders pun tidak mendapat respon yang menyenangkan dari umat juga kondisi kesehatan yang mulai memburuk. Sehingga ia kembali pada Desember tahun 1861.

Kemudian pater Sanders digantikan oleh pater Gaspar J.H. Franssen. Namun tidak berlangsung lama, beliau hanya dua tahun di Larantuka dan mengalami hal yang sama seperti pater Sanders sehingga pada 1863 ia meninggalkan Larantuka. 

Namun beberapa bulan sebelumnya, ia sudah mendapat penggantinya yaitu Pater G. Metz dari Serikat Yesus.

******


Bersambung... ke. Era Baru Pater Metz di Flores