-->

Sejarah Akhir Kebesaran dari Kesultanan Ternate

advertise here

Gambar Profil Laki-laki Penduduk Asli Ternate, Tanpa Tahun, Sumber: ANRI, KIT 451/6
Gambar Profil Laki-laki Penduduk Asli Ternate, Tanpa Tahun, Sumber: ANRI, KIT 451/6


Akhir Kebesaran dari Kesultanan Ternate


Citra Ternate Dalam Arsip (Anri)

Keberhasilan Sultan Baabullah tidak terlepas dari kecakapan sejumlah panglima dan komandan tentaranya, seperti Kapita Laut Kapalaya dan Rubohongi. 

Kapalaya adalah penakluk pantai timur Sulawesi, khususnya Buton dan Rubohongi adalah penakluk Maluku Tengah. 

Enam tahun setelah bertakhta, Baabullah telah menguasai pulau-pulau di Ambon, Hoamoal di pulau Seram, Buru, Manipa, Ambalau, Kelang dan Buano. Empat tahun setelah itu, Sultan terbesar Ternate ini juga telah menguasai desa-desa sepanjang pantai timur Sulawesi, Banggai, Tobungku, Buton, Tiboro dan Pangasani. 

Setelah itu, giliran Makassar dan Selayar datang ke Ternate. Tahun kedatangannya merupakan awal dari monopoli rempah-rempah Kompeni di Ternate.

Matelief De Jong bukanlah orang Belanda yang pertama kali datang di Ternate. Menurut catatan de Clerq, orang Belanda pertama yang tiba di Ternate adalah Wijbrand van Warwijk. Pada 2 Juni 1599, van Warwijk merapat di pelabuhan Talangame dengan kapal Amsterdam dan Utrecht. Setelah itu, datanglah secara berturut-turut van Neck pada 1601 dan Wolphert Harmenzoon pada 1602. 

Kedatangan Matelief de Jong pada 1607 sebenarnya berdasarkan permintaan Ternate. Sebelumnya, atas perintah Dewan Mangkubumi Kesultanan Ternate pimpinan Jogugu Hidayat, Kaicil Ali dan Kimalaha Aja diutus ke Banten untuk meminta pertolongan Belanda. 

Pasalnya, orang-orang Spanyol di bawah pimpinan Don Pedro da Cunha menyerbu benteng Gamlamo dan menangkap Sultan Saidi beserta keluarganya, kemenakannya Kaicil Hamzah, serta sejumlah pejabat tinggi kesultanan, termasuk Sangaji Makian, Sahu dan Gamkonora. Kesemua tawanan ini diasingkan ke Manila pada 1606. 

Kaicil Ali yang ketika itu berusia 21 tahun dan Jogugu Hidayat berhasil meloloskan diri dalam peristiwa itu. Setelah tiba di Ternate dan melakukan observasi seperlunya tentang kekuatan Spanyol, de Jong akhirnya setuju membantu Ternate dengan syarat, antara lain, Ternate memberikan hak monopoli perdagangan rempah-rempah kepada Kompeni dan membolehkannya mendirikan benteng. Benteng  yang didirikan itu kini dikenal sebagai Benteng Oranje terletak di pusat kota Ternate.

Tidak mudah bagi Ternate untuk melepaskan diri dari campur tangan kekuasaan asing Eropa. Ketika Portugis berkuasa di kesultanan ini, selain memperoleh hak monopoli dalam tata niaga rempah-rempah dan izin mendirikan benteng Gamlamo, ia juga ingin mencampuri urusan pemerintahan Ternate. Bahkan, sejak 1532, Portugis mulai berpartisipasi dalam proses pengangkatan sultan-sultan Ternate: mulai dari Boheyat, menyusul Tabariji, Khairun dan terakhir Baabullah. Keadaan ini baru berakhir setelah Portugis terusir. Tetapi, setelah Kompeni Belanda datang, campur tangan dalam pengangkatan Sultan Ternate juga menjadi salah satu kebijakannya. Mulai dari Mandarsyah, setiap pergantian Sultan Ternate harus dengan persetujuan Kompeni.

Mulai 1652, Ternate mengalami masa-masa sulit baik di bidang politik maupun militer. Sultan Mandarsyah ditekan secara halus untuk menandatangani perjanjian dengan Gubernur Jenderal VOC, Reinier, di Batavia. Perjanjian itu menentukan bahwa Kesultanan Ternate tidak boleh lagi mengangkat salahakan baru untuk kawasan seberang lautannya di Maluku Tengah, yakni di Hoamoal, dan daerah ini menjadi wilayah yang langsung berada di bawah pemerintahan Kompeni di Ambon. Ternate juga harus melaksanakan hongi (penebangan pohon-pohon cengkih) di daerah-daerah tersebut.

Latar belakang penandatanganan perjanjian di atas adalah ketidaksenangan Kompeni terhadap pejabat yang ditugaskan Kesultanan Ternate di sana. Kaicil Majira, yang diangkat Sultan Hamzah pada 1641 sebagai salahakan di Hoamoal atas desakan Kompeni Ambon untuk menggantikan Salahakan Luhu yang tidak disenangi, yang pada tahun 1651 melakukan pemberontakan bersenjata.

Sultan Mandarsyah dinilai Kompeni tidak melakukan tindakan serius terhadap Majira untuk mengakhiri pemberontakannya. Di samping itu, sejak 1652, Kerajaan Buton mulai memusingkan Mandarsyah.

Tentara Kerajaan Makassar melakukan infiltrasi dan menduduki beberapa pulau di sekitar Buton, yang diperburuk lagi oleh pengkhianatan sejumlah besar bobato Buton dengan memihak Makassar. 

Kapita Laut Kaicil Ali, beserta pasukannya yang sebagian besar terdiri dari orang-orang Sanana dan Alifuru Jailolo, dengan susah payah mempertahankan pulau-pulau itu dari serangan Raja Makassar.


Usulan Kaicil Ali agar Mandarsyah meminta bantuan Kompeni ditolak, karena Mandarsyah yang permaisurinya seorang puteri Buton yakin bahwa ia masih memiliki pengaruh cukup kuat. Tetapi, realitasnya tidak demikian. Pengaruh Sultan Ternate ini telah merosot jauh di mata rakyat Buton.

Serangan Makassar yang semakin gencar terhadap Buton membuat hari-hari kejatuhan kawasan ini tinggal dihitung dengan jari. Dengan susah payah Kaicil Ali mencoba menghalau serangan itu, tetapi dalam suatu pertempuran mempertahankan ibukota Buton, Ali gugur di medan laga. Dengan gugurnya Ali, semakin kecil peluang Mandarsyah untuk mempertahankan pulau itu. la mengutus Kapita Laut Saidi untuk membangun kembali pertahanan Buton, dan dalam keadaan putus asa ia menghubungi Kompeni untuk meminta bantuan. Mandarsyah berhasil meyakinkan de Vlaming, Gubernur Kompeni Ambon, mengenai perlunya bantuan Kompeni guna menyelamatkan Buton yang tengah sekarat.

Pada September 1654, dengan menumpang kapal Zas van Gent, de Vlaming dan Mandarsyah menuju Buton. Yang mereka temukan di sana adalah sebuah kenyataan pahit: Raja Buton telah menjalin persekutuan dengan Makassar, dan baik rakyat maupun para bobato andalan Mandarsyah sebagian besar tidak lagi setia kepada Ternate. De Vlaming sendiri, setelah melihat kenyataan tersebut, meneruskan pelayarannya ke Makassar dan meninggalkan Mandarsyah di Buton.

Walaupun Raja Buton telah berkhianat, Mandarsyah mencoba mempertahankan Buton dengan mengumpulkan sisa-sisa bobato antara lain Hukum Lau serta Kaicil Lasinuru dan rakyatnya yang masih setia dalam suatu pertemuan. la meminta mereka mendobrak kepungan tentara Makassar dan mengusirnya keluar wilayah Buton. Tetapi, upaya terakhir 

Mandarsyah ini tidak membawa hasil. Dengan perasaan kecewa, Mandarsyah kembali ke Ternate dan tidak pernah lagi mengunjungi Buton hingga akhir hayatnya.

Beberapa saat setelah kepergian Mandarsyah, Kapita Laut Saidi tidak mampu lagi menahan lajunya serbuan Makassar dan jatuhlah Buton ke tangan Raja Makassar pada 1655. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Ternate atas pulau itu selama hampir satu abad (1580-1655). Saidi dan pasukannya mundur ke Tobungku, dan dari kejauhan Kapitan Laut ini menatap pulau yang ditinggalkannya itu dengan sedih.(*)