LINTAS PERISTIWA PERANCANGAN LAMBANG GARUDA INDONESIA
Pada Desember tahun 1949, Sultan Hamid II menjabat sebagai Menteri Negara Zonder Portofolio. Selama jabatan menteri negara itu pula dia ditugaskan Presiden Soekarno untuk merencanakan, merancang, dan merumuskan lambang negara.
Sultan Hamid II membentuk panitia perancang lambang negara, dimana ia bertindak sebagai ketuanya. Ide lambang dasar negara tidak semata-mata lahir dari Sultan Hamid II, tapi para anggota dalam kepanitiaan seperti Muhammad Yamin, Ki Hajar Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsis, dan R. M. Ngabehi Poerbatjaraka pun boleh mengajukan rancangan.
Sultan Hamid II mencari ide lambang negara dengan berkunjung ke Sintang dan Putus Sibau. Di Sintang, ia tertarik dengan patung burung garuda yang menghiasi gantungan gong yang dibawa Patih Lohgender dari Majapahit. Patung Garuda tersebut lantas dipinjam dan dibawa pulang dengan tempo peminjaman selama 1 bulan.
Burung Garuda adalah burung mistis yang berasal dari mitologi Hindu. Mitologi ini datang dari India dan berkembang di Indonesia sejak abad ke-6. Burung Garuda berarti kekuatan, dan warna emas pada burung tersebut berarti kemegahan dan kejayaan.
Terpilihlah dua rancangan lambang negara terbaik, yakni karya Muhammad Yamin dan Sultan Hamid II. Namun, rancangan yang diterima oleh pemerintah dan DPR adalah karya Sultan Hamid II. Saat itu juga dilakukan perbaikan rancangan, yakni dengan mengganti pita merah putih yang dicengkeram Garuda dengan pita putih berisi semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Pada 15 Februari 1950, Presiden Soekarno memperkenalkan lambang negara untuk yang pertama kalinya kepada rakyat Indonesia di Hotel Des Indes, Jakarta.
Ketika itu Burung Garuda dalam lambang negara karya Sultan Hamid II kala itu memiliki kepala botak (belum berjambul seperti sekarang). Atas masukan Presiden Soekarno kala itu, cengkraman burung terhadap pita yang semula menghadap ke belakang diganti menghadap ke depan.
Sultan Hamid II mendapat tuduhan terlibat dalam Kudeta Westerling pada tahun 1950 dan dihukum 10 tahun penjara. Akibatnya, sejarah resmi Indonesia melupakan sosoknya yang berjasa dalam rancangan lambang negara. Selain itu, fakta mengenai perbaikan rancangan Sultan Hamid II ini dikatakan tidak banyak diungkap setelah tuduhan terhadapnya menjadi santer saat itu.