-->

Sejarah Asal Mula Nama So’E; Timor Tengah Selatan

advertise here
Saat ini siapa yang tidak mengenal Kota So'E?
Bagi orang-orang di Pulau Timor So'E dikenal sebagai salah satu kota yang dingin. Kota ini merupakan penghasil jeruk Keprok yang sangat terkenal itu. 
Gambar Raja Molo
Gambar Raja Molo 


Dari informasi inilah kami pun berangkat menjuju So'E dengan menggunakan  bus antar kabupaten setelah tiba di Kota Kupang.

Pemandangan yang disajikan alam Timor sungguh sangat luar biasa. 
Sepanjang jalan, anda akan melihat padang penggembalaan dan diselingi sawah dan hutan dengan pohon yang tinggi.
Sungguh perjalanan yang menyenangkan.

Sesampainya di So'E kami menyempatkan diri berkeliling koa So'E dan sehabis itu, kami beristirahat sambil memanjakan telinga dengan cerita sejarah asal mula nama So'E.
Cerita pun dimulai dari sini.

Versi 1
Kata "So'E' merupakan bahasa Timor, jika diartikan dalam Bahasa Indonesia yakni "menimba".
Setidaknya ada beberapa versi penuturan dan ini merupakan salah satu penuturan asal mula nama So'E.
Salah satu karya tulis yang patut dijadikan referensi yakni seorang antropolog Belanda bernama Piter Middelkopmisionaris yang mana ia tinggal dan meneliti kurang lebih 30 tahun di wilayah Timor Tengah Selatan.
Dalam karya tulisnya itu dapat diketahui bahwa pada zaman dahulu ada seorang Usif (Bangsawan) yang bernama Nai San Metan. Nai San Metan sering di panggil SAN ASBANU. 
Beberapa penuturan menyebutkan bahwa Nai San Metan diketahui dari marga ASBANU.


Melihat dari nama Usif ini, Nai San Metan adalah nama yang erat kaitannya dengan ciri-cirinya yaitu warna kulitnya yang hitam.
Tidak heran, Orang Timor sering menyapa sesamanya dengan sebutan itu.
Sangat jarang kami temui seseorang Timor disapa dengan nama dirinya. Kenapa? 
Mereka menganggap itu tidaklah sopan. Oleh karena itu seperti Usif Nai San Metan, seseorang disapa dengan memperhatikan apa yang menjadi ciri tertentu padanya.

Misalnya seseorang yang giginya dibalut dengan emas disapa NISNONI atau San Asbanu disapa Nai San Metan.
 
Dikisahkan Raja San Metan menikahi Bi Kae Nope yang mana ia adalah Putri Raja Kerajaan Banam (Amanuban) Tubani Bill Nope. 
Mereka tinggal bersama rakyatnya di Fautbena – Nanjalu, kampung tempat tinggal keluarga Mone dan rumah keluarga Ataupah dan keluarga Fallo di So‟E. 

Suatu hari tepatnya di Neke, Pusat Kerajaan Raja Tubani Bill Nope, Raja Tunbani Bill Nope dan mertua laki-laki dari Raja San Metan, mengadakan sebuah pesta besar.
Semua Usif, Amaf, Meo dan seluruh rakyat Kerajaan Banam diundang pada pesta itu. 
Raja Tubani Bill Nope sangat kecewa karena Raja San Metan dan Bi Kae Nope tidak memenuhi undangan untuk datang ke pesta itu tanpa pemberitahuan.
 
Meskipun begitu sebagai raja yang bijaksana sebagaimana digariskan dalam tata krama atau etiket masyarakat di situ Tubani Bill Nope memerintahkan para pelayan istana agar bagian hidangan buat Raja San Metan dan Bi Kae Nope tetap disiapkan dengan menempatkannya di dalam bakul dan harus di simpan di atas para-para (Tetu Nai San Metan Bi Kae Nope, Pana Nai San Metan Bi Kae Nope).

Maksudnya, kalau nanti Nai San Metan datang ia dapat menikmati sukacita dalam bentuk makanan bersama. Namun sampai acara pesta berakhir, Nai San Metan  dan Bi Kae Nope juga tidak kunjung datang ke Istana Raja Tubani Nope. 

Tubani Bill Nope marah besar karena merasa tidak dihargai oleh Raja San Metan. 


Tubani Bill Nope merencanakan untuk membunuh Raja San Metan dan Bi Kae Nope yang merupakan putri kandungnya sendiri. 

Raja Tubani Bill Nope meminta bantuan Raja Mollo TO OEmatan yang biasa disebut TO Asupah untuk mengeksekusi pembunuhan itu.

Alfred Kase menyebut dalam bukunya bahwa yang diminta Raja Tubani Bill Nope untuk membunuh San Metan adalah meo Kobo Bano’Et (KAse, 2004:43-52). 

Mereka menyusun strategi dan  membuat ritual memohon restu Uis neno (penguasa langit), Uispah (penguasa bumi), dan para leluhur untuk menyertai pelaku dalam penyerangan. 

Setelah upacara selesai pasukan dari Kerajaan Mollo berangkat dengan menunggang kuda masing-masing menuju Istana Raja San Metan di Fautbena – Nanjalu.
Peperangan akhirnya terjadi dan Kobo Bano"Et dari Kerajaan Mollo berhasil membunuh Raja San Metan.
 
Kobo Bano‟Et tidak segera memancung kepala tetapi memeriksa harta peninggalan raja di dalam istana. 
Tidak ditemukan emas dan perak yang ditinggalkan oleh Raja San Metan. Hanya ada beberapa utas Muti Salak tergantung di tiang berhala Raja. 

Kobo Bano‟Et segera meraihnya dan dikalungkan di lehernya. 
Di situ ada juga sebuah guci besar berisi butiran muti salak. 

Sementara di atas para-para (pana) ada sekarung padi.


Dituangkan isinya di atas para-para lalu mengambil sebuah mangkok di atas para-para dan mencedok/menimba (So‟E) butiran salak dari 
dalam guci dan dimasukkan ke dalam karung sampai penuh.


Berawal dari kata So‟E Muti Salak inilah, maka nama So‟E dikenal sampai saat ini.*NP

Versi 2

Suatu ketika Tlili Fa‟ot membawa beberapa amaf dari Tetaf ke arah matahari terbenam (neonates) untuk mengumpulkan upeti (pah sufan) kepada raja. Dalam perjalanan pulang mereka mencari tempat mengaso. Orang Timor biasanya memilih tempat yang ada sumber airnya untuk mengaso, karena pada kesempatan itu mereka membuka bekal untuk makan. Ditemukan di situ sebuah tempat yang ditumbuhi bamboo betung (banbu yang batangnya besar dan tinggi). 

Setelah diselidiki ternyata di sela-sela bamboo itu ada mata air. Letaknya memang agak tersembunyi. Belum ada orang yang melihat mata air itu. Fa‟ot adalah penemunya. Tempat itu mereka namakan O’Naek, yang artinya bamboo besar. Mereka lalu makan dan minum di situ. 

Fa‟ot mengambil benda keramat miliknya, sebuah mangkuk yang disalut perak. Nama mangkuk itu dalam bahasa daerah adalah oe so’e = penimba air. Dengan oe so’e itu ia mencedok air dari sumbernya. Mereka makan dan minum sampai puas kemudian melanjutkan perjalanan. Setelah agak jauh berjalan barulah Fa‟ot ingat bahwa oe so’e miliknya tertinggal. Mereka memutuskan untuk pulang ke mata air tadi. Syukurlah, oe so’e itu ditemukan.

 Ini dijadikan pertanda bagi Fa‟ot bahwa dewa penunggu mata air dan tempat itu bersahabat dengan mereka meskipun tadinya mereka minum dari mata air itu tanpa meminta ijin terlebih dahulu dari roh yang menjaga tempat itu. 

Karena itu Fa‟ot memutuskan untuk menjadikan lokasi tadi (O’Naek) menjadi kebun keluarga. Mereka membangun pondok dan mengolah tanah di situ untuk memperoleh makanan. 
Beberapa lama kemudian, di suatu pagi salah seorang putrid Fa‟ot menuju ke mata air itu untuk mengambil air. 

Sementara ia menimba datang beberapa oran asing, yakni tentara Belanda. 

Merekaa rupanya lelah dan haus karena itu mencari air untuk melepas dahaga. Melihat seorang anak gadis membungkuk di cela-cela bamboo yang sempit, seperti mencari atau mengambil sesuatu, salah seorang tentara bertanya: “Apa yang kau buat di situ?” 
Gadis kecil itu menjawab: “Soe’ oe!” sambil memperlihatkan air yang ada dalam alat 
penimba yang ada di tangannya. Soe’ oe dalam bahasa Indonesia artinya: menimba air. 

Tentara itu lalu minta minum. Mereka lalu pulang mendapatkan pasukan dan bercerita tentang seorang gadis kecil di Soe’ oe yang memberi mereka minum. 

Teman-temannya juga pergi ke mata air itu, yang sekarang mereka sebut So’E karena tidak bisa mengucapkan secara lengkap soe’ oe. 

Demikianlah isi versi kisah marga Fa‟ot tentang asal usul nama So‟E. So‟E artinya menimba.

Secara lebih jelas menimba air untuk minum, mata air yang dimaksud adalah Oebesi  yang berada beberapa meter di selatan gedung kebaktian GMIT Maranatha So‟E.

Dulunya di mata air itu tumbuh banyak bambu betung. Itu sebabnya dalam tuturan adat mengenai nama So‟E selalu disandingkan dengan kata O’Naek. Padanan lengkapnya berbunyi: So’E-O’naenu - Hu’e mnanu-fafinisin.

Versi manakan yang lebih dekat dengan sejarah asal mula nama So'E?
Mari kaji bersama. Sekian.

Sumber: 
Ebenhaizer I Nuban Timo.,   Kota So'E: Sejarah dan kenangannya. Academiedu.

Ebenhaizer I Nuban Timo. Kitab Itu Selalu Terbuka. Pendalaman Alkitab Untuk Kaum Bapak. Salatiga: Alfa design. 2010.