Menyadap Nira dan Maknanya dalam Kebiasaan Orang Nobolekan
Pengantar
Masyarakat adat Nobolekan sudah mempunyai kebiasaan turun menurun dalam penyadapan tuak.
Tidak heran sekitar 20 tahun yang lalu, kami masih bisa menyaksikan beberapa orang laki-laki dewasa menyadap nira sampai di tengah hutan di bawah lereng Gunung Ile Ape.
Misalnya pada beberapa lokasi hutan yang dalam sebutan masyarakat Nobolekan dikenal dengan nama kawasan hutan "Hapeng Kore", " Bejawa", "Leway", "Hukum Bala", dan yang paling dekat kawasan hutan "Kukun Oenen" dan "Hurungen" dimana kawasan ini, kita masih bisa melihat beberapa pohon Tuak yang pernah disadap oleh nenek moyang Orang Nobolekan masih berdiri tegak dan kokoh.
Singkat Tentang Nobolekan
Nobolekan merupakan salah satu kampung adat yang masih satu dengan masyarakat adat Napasabok. Kedua desa ini terpisah secara administratif pemerintahan, namun masih berasal dari kampung adat induk yaitu Napaulun.
Seiring perjanan waktu Nobolekan secara pemerintahan dikenal dengan Desa Bungamuda. Disini saya akan menggunakan nama Nobolekan sebagai ganti dari nama Desa Bungamuda.
Kenapa nama kampung ini sangat penting? Karena bukan hanya bisa disebut Bungamuda atau Napaulun atau juga Nobolekan, namun mempunyai julukan dan makna yang mendalam. Julukan dan makna itu ada di semua kampung yang ada dalam wilayah pemerintahan kecamatan Ile Ape dan Ile Ape Timur.
Namun saya tidak akan membahasnya satu per satu.
Nobolekan yang saat ini dikenal dengan nama Desa Bungamuda mempunyai julukan dalam bahasa lamaholot yaitu "Bunga Baran Tawa, Muda Nulan Gere", Desa Napasabok disebut "Lewo Ulun Napa Sabok, Tana Weran Doro Aran", Desa Lewotolok disebut "Lewo Tolok Lama diken, Tana Diken Tena Lema", atau Kampung adat induk Bungamuda dan Napasabok yaitu Napaulun pun punya julukan "Lewo Ulun Lela Koli, Tanah Weran Nara Wayong".
Desa-desa ini berada dalam wilayah administratif Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia.
Kebiasaan Orang Nobolekan Menyadap Nira
Dalam kehidupan sehari-hari beberapa penduduk memang mempunyai mata pencaharian sebagai penyadap nira di samping ada juga bertani, melaut, dan pekerja buruh.
Namun menyadap nira, oleh orang Nobolekan tersirat makna yang mendalam. Ada bagian-bagian penting dari proses penyadapan yang sangat menarik.
Baiklah, saya akan mencoba menggambarkan satu per satu walaupun kurang lengkap.
Saya pernah sebagai penyadap nira dan pernah dalam beberapa waktu yang lalu saya masih lakukan kegiatan itu setelah 10 tahun saya keluar untuk sekolah. Agar lebih memudahkan saya akan membahasnya bagian per bagian.
Bagian 1
Persiapan alat ini memang tidak membutuhkan persyaratan khusus, namun ketika mempersiapkannya anda harus memperhatikan agar pisau yang digunakan tidak di pakai sebagai pisau dapur.
Setelah selesai mempersiapkan alat anda harus memukul buah jantan pohon tuak ini dengan teknik khusus serta dengan kayu keras agar sedikir terasa lembek pada bagian yang dipukul, fungsinya agar bisa memancing air nira untuk bisa menetes dan disadap. Sebatang kayu yang digunakan ini oleh orang Napaulun disebut sebagai "temotal".
Bagian 2
Pada tahap ini anda harus mempersiapkan pisau khusus yang di asa pada batang kayu sampai tajam. Dalam kepercayaan orang yang menyadap nira ini jika menggunakan batu asa maka nira akan berkurang dengan sendirinya.
Hal ini bukanlah mitos, saya pernah mengalami sendiri problem semacam ini. Secara ilmiah memang perlu pengkajian namun, sistem kepercayaan yang secara turun menurun, apa bila dilanggar akan menimbulkan hukuman. Hukuman ini bukan secara langsung namun dengan berkurangnya air sadapan nira.
Bagian 3
Pada tahapan ini anda harus mempersiapkan daun nira dalam istilah Nobolekan disebut "Nabhu", untuk dijadikan corong menuju mulut tempat penampung. Proses pembungkusan buah nira yang diiris itu disebut "Gabu", Setelah di gabu, mulai dengan pemasangan tempat sadap dari batang bambu. Teknik setelah gabu ini disebut "Hawing" dan tempat sadap dari bilah bambu itu disebut "Nawing".
Tempat penampung biasanya digunakan dari batang Bambu yang dipilih dari bambu yang sudah mengering dan dipotong buang salah satu bukunya.
Menurut penuturan beberapa orang yang di tanya, bahwa penggunaan itu tergantung dan tidak memberikan efek, mungkin zaman dahulu belum ada botol plastik, hanya saja menggunakan batang bambu dalam upacara adat Nobolekan tidak bisa digantikan dengan botol plastik.
Sehingga nilai magis dari bila bambu sebagai tempat sadap mendapat tempat yang baik dalam proses penyadapan nira, selain itu juga simbol penghormatan dan media penyadapan khas orang Nobolekan.
Bagian 4
Penyadapan Nira dilakukan setiap pagi dan sore hari. Jika air nira diambil untuk diminum maka biasanya pada sore hari barulah dia ambil. Karena pagi hari kebiasaan masyarakat menampungnya dahulu agar banyak air niranya. Tetapi ada juga yang mengambilnya pagi untuk diminum. Kegiatan pengambilan ini dinamakan "Lekang" sedangkan untuk kegiatan pengirisan sendiri disebut "Perey".