Indonesia berhasil swasembada beras dengan angka produksi sebanyak 25,8 ton pada tahun 1984. Keberhasilan ini mendapatkan penghargaan dari Direktur Jenderal FAO Dr. Eduard Saoma serta mengundang secara khusus Presiden Soeharto ke Konferensi ke-23 FAO di Kota Roma tahun 1985.

Menurut Food and Agriculture Organization (FAO) (2008), swasembada pangan diartikan sebagai seberapa jauh suatu negara dapat memenuhi kebutuhan pangannya dari hasil produksi domestiknya sendiri. Produksi beras nasional mencapai angka sekitar 27 juta ton pada tahun 1984, sementara konsumsi beras dalam negeri sedikit di bawah 25 juta ton. Masih ada kurang lebih 2 juta ton stok beras cadangan. Namun untuk menjaga stabilitas ketahanan pangan, Indonesia melakukan sedikit impor. Sedangkan pada suatu waktu Indonesia pernah mengekspor beras 100 ton ke negara-negara di Benua Afrika. Swasembada ini sebagai suatu kepantasan bagi Indonesia untuk mendapat penghargaan.

Namun, pada tahun1995 Indonesia terpaksa kembali mengimpor beras hingga 3 juta ton

Pada tahun 2021 Duta Besar RI untuk PBB Darmansjah Djumala mewakili Organisasi Riset Tenaga Nuklir (BRIN) menerima pernghargaan IAE dan FAO yang disampaikan Dirjen IAEA Rafael Mariano Grossi pada persidangan IAEA General Conference ke-65 di Wina, Austria. Dikutip dari menpan.go.id penghargaan ini diberikan atas capaian riset dan pemanfaatan teknologi nuklir di Indonesia melalui Organisasi Riset Tenaga Nuklir (ORTN) di bidang pemuliaan tanaman pangan. Proyek ini telah menghasilkan 32 varietas padi, 12 varietas kedelai, 3 varietas sorgum, 1 varietas gandum, 1 varietas kacang tanah, dan 1 varietas pisang.

Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pembangunan Pertanian, tanggal 11 Januari 2021 dihadiri oleh Presiden Jokowi yang berpesan dalam pidatonya bahwa “saat ini sudah tidak bisa lagi kita membangun dalam skala ekonomi yang kecil-kecil, namun perlu mendorong pembangunan model Food Estate (Lumbung Pangan)”.

Kementrian Pertanian (Kementan) menargetkan pembangunan 2.358 kampung hortikultura dan  320 UMKM Hortikultura yang tersebar secara merata di seluruh Indonesia. Wacana ini, akan membawa Indonesia menjadi negara super power dalam bidang pertanian. Kenapa tidak secara SDM, kita punya ahli dan peneliti yang mumpuni selain itu kita punya lahan tidur yang belum diolah maksimal.

Melihat arah kebijakan dalam bidang pertanian ini, memperlihatkan tidak terarah pesan presiden dan kebijakan Kementan RI. Ada dua alur pemikiran berbeda dimana Presiden menginkan pembangunan model Food Estate (Lumbung Pangan), sedangkan Kementan membuat buat kebijakan pembangunan dibidang hortikultura.

Timbul isu pada bulan Agustus 2021, dimana Indonesia terancam krisis pangan.

Dikutip dari cnbcindonesia.com Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Arifin Rudiyanto mengatakan bahwa “disini yang penting kami kembangkan adalah petani tergabung di korporasi supaya lebih produktif dari sisi lahan, tenaga kerja, dan hilirisasinya. Jadi kita bekerja bersama menghadapi ancaman krisis pangan setelah pandemi ini”. Bagaimana dengan kebijakan kampung hortikultura dan UMKM Hortikultura?

Korporasi pertanian merupakan kelembagaan ekonomi petani berbadan hukum berbentuk koperasi atau badan hukum lain dengan sebagian besar pemilikan modal dimiliki oleh petani. Disini ditekankan bahwa petani diharuskan meminjam dari lembaga peminjam uang untuk menjalankan kegiatan usahataninya dengan bunga 7,95% – 9,25%. Besarnya bunga pinjaman ini akan menyulitkan petani untuk membayar maka petani tidak akan mencapai sejahtera.  Sedangkan petani saat ini tengah menghadapi masalah yang pelik terkait pupuk yang tidak merata distribusinya. Sejumlah persyaratan yang tidak bisa di penuhi oleh petani dan kelompok tani yang tidak diberdayakan dengan baik menjadi masalah serius. Dikutip dari kompas.com, permentan disebutkan, petani penerima pupuk bersubsidi harus memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), lahan maksimal 2 hektar (ha), tergabung dalam kelompok tani (Poktan), dan telah menyusun eRDKK.

Tidak terpenuhnya persyaratan ini maka petani hanya mengandalkan faktor produksi seadanya. Akibatnya penurunan hasil oleh petani dirasakan sangat berdampak pada ekonomi rumah tangga. Untuk mengatasi masalah ini maka budidaya pertanian skala kecil padat tenaga kerja jauh lebih tinggi produksinya daripada produksi unit pertanian dengan teknologi tinggi menurut penelitian. Solusi krisis pangan ini, sebaiknya pemerintah mendorong peningkatan produksi pertanian dan memberikan bantuan langsung tunai kepada petani, jauh lebih menguntungkan dibanding mengudang dan membuat korporasi pangan. Akibatnya saat ini petani susah mendapatkan faktor produksi karena terjepit kebijakan yang gagap dan yang di rasakan seperti hidup pada  tahun 1998.

Semoga Artikel Ini Bermanfaat.........!