PENANGANAN PASCA PANEN “EDIBLE COATING”
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Senyawa lipid yang banyak digunakan adalah monogliseril, wax alami, dan surfaktan. Materi yang paling efektif adalah parafin dan beeswax. Fungsi primer film lipid adalah menghalangi transpor uap air karena sifat polarnya yang rendah. Lapisan lipid bersifat hidrofobik. Permeabilitas uap air kan menurun ketika konsentrasi fase hidrofobik meningkat. Lipid-based film sering digunakan pada struktur matrik polimer untuk memberikan kekuatan mekanik. Film yang dibuat dari lipid akan memiliki sifat tebal tapi mudah rapuh. Mampu mencegah kehilangan air, mengurangi tergerusnya permukaan selama penanganan bahan serta mengendalikan pencoklatan pada kulit buah apel. Pada pisang, memberikan kesan mengkilap pada buah serta menurunkan timbulnya bintik pelayuan yang terkait dengan penurunan aktivitas enzim polifenol oksidase. Pada buah tomat, coating tersebut ternyata juga dapat mempertahankan kandungan asam askorbat. Kombinasi antara hidrokoloid dan dan lipid berfungsi untuk meningkatkan sifat-sifat mekanik tertentu dari edible film tergantung fungsi spesifik yang diinginkan. Film komposit ini diaplikasikan dalam bentuk emulsi, suspensi, dispersi, atau dalam bentuk multilayer film. Metode aplikasi akan mempengaruhi kemampuan penghalang dari film yang dihasilkan.
Edible coating sebagai pengemas masa depan (future packaging). Banyak penelitian edible coating terbaru yang memberi harapan akan pengemas pangan yang memberi nilai lebih dan ramah lingkungan. Nilai lebih tersebut antara lain edible coating dapat berperan sebagai agen reduksi mikrobia, antioksidan, dan zat gizi. Edible coating banyak diteliti untuk menjadi pengemas bagi buah dan sayur. Dewasa ini masyarakat ingin mengkonsunsumsi makanan yang bergizi dan cepat saji, begitu pula dengan buah.
1.2 Tujuan
Untuk mengetahui manfaat dari edible coating.
METODE KERJA
2.1 Waktu dan Tempat
Praktikum Edible Coating pada Buah Tomat dilaksanakan pada tanggal 15 juni 2018 pada pukul 13.30 di Laboratorium Pasca Panen, Politeknik Pertanian Negeri Kupang.
2.2 Alat dan Bahan
Alat |
Bahan |
Nampan/baki |
Buah tomat |
Kuas |
Tepung tapioca |
Sendok |
Air |
|
Kantong plastic |
|
Tepung terigu |
|
Tissue |
2.3 Prosedur Kerja
- Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
- Ambilah buah tomat sesuai yang
tersedia, bersihkanlah apabila kotor menggunakan tissue.
- Olesi buah menggunakan pasta edible coating.
- Letakkan pada nampan, lakukan pengamatan selama 1 minngu.
- Simpan dan amati perubahanya setiap hari seperti: perubahan warna.
2.4 Data Pengamatan
Perlakuan
Perubahan yang diamati
Control
Rusak
Menggunakan pasta tepung tapioca
Masih segar
Menggunakan pasta tepung terigu
Masih segar tapi sudah mulai berkerut
PEMBAHASAN
Kitosan
merupakan salah satu jenis polisakarida turunan kitin mempunyai sifat dapat
membentuk film yang kuat, elastis, fleksibel dan sulit dirobek sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pengemas (Butler et al. 1996). Jenis kemasan
yang banyak dibuat dari kitosan adalah jenis edible film atau coating.
Sifatnya yang edible (dapat dimakan) merupakan keunggulan kitosan
sehingga dapat digolongkan ke dalam bahan kemasan yang ramah lingkungan. Sifat
lain dari kitosan sebagai bahan edible coatingadalah kitosan merupakan barrier yang
baik bagi gas dan uap air karena struktur matriksnya.
Sifat barrier kitosan ini lebih baik dari pada polimer berbasis
makhluk hidup (biobased polymer) lainnya.
Kitosan juga mempunyai sifat
antimikrobial danbiodegradable (Steinbüchel dan Rhee 2005 dalam Bourtoom
2008). Menurut Alamsyah (2006) dalam Suptijah et al. (2008)
menyatakan bahwa penggunaan kitosan sebagai bahan pengawet dan edible
coating yang efektif untuk mencegah kerusakan kualitas dan memperpanjang
umur simpan produk pangan sangatlah potensial.
Edible coating merupakan
suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk untuk
melapisi makanan (coating) atau diletakkan di antara komponen makanan yang
berfungsi sebagai penghalang terhadap perpindahan massa (kelembaban, oksigen,
cahaya, lipid, zat terlarut), sebagai pembawa aditif, untuk meningkatkan
penanganan suatu makanan dan merupakan barrier terhadap uap air dan
pertukaran gas O2dan CO2 (Bourtoom 2008).
Edible coating juga
dapat mencegah kerusakan bahan akibat penanganan mekanik, membantu
mempertahankan integritas structural dan mencegah hilangnya
senyawa-senyawa volatile, dan sebagai carrier zat aditif seperti
zat antimikrobial dan antioksidan pada bahan (Kester dan Fennema 1988). Edible
coating dapat melindungi produk segar dan dapat juga memberikan efek yang
sama dengan modified atmosphere storage dengan menyesuaikan komposisi
gas internal. Keberhasilan edible coating untuk buah tergantung pada
pemilihan film ataucoating yang memberikan komposisi gas internal
yang dikehendaki sesuai untuk produk tertentu (Park 2002). Komponen edible
coating terdiri dari tiga kategori yaitu hidrokoloid, lipid dan
kombinasinya. Hidrokoloid terdiri atas protein, turunan selulosa, alginat,
pektin, tepung (starch) dan polisakarida lainnya, sedangkan lipid terdiri dari
lilin (waxs), asilgliserol dan asam lemak (Krochta dan Mulder-Johnston 1997).
Contoh bahan-bahan edible coating untuk melapisi buah, seperti
selulosa, kasein, zein, protein kedelai dan kitosan. Bahan-bahan ini dipilih
karena memiliki karakteristik berupa tidak berbau, tidak berasa dan transparan.
Hanya saja tidak mudah untuk mengukur sifat permeasi gas
pada coating setelah diaplikasikan pada buah (Park 2002). Hidrokoloid
yang digunakan untuk edible coating dapat dibedakan berdasarkan komposisi,
berat molekul dan solubilitas air. Berdasarkan komposisi hidrokoloid dibagi
menjadi karbohidrat dan protein. Karbohidrat terdiri dari tepung (starch), gum
tumbuhan (alginat, pektin dan gum arab) dan modifikasi kimia tepung.
Hidrokoloid protein terdiri dari gelatin, kasein, protein kedelai, whey
protein, wheat gluten dan zein. Komponen plasticizer yang
ditambahkan ke dalam edible coating berfungsi untuk mengatasi sifat
rapuh lapisancoating yang disebabkan oleh kekuatan intermolekuler
ekstensif. Plasticizer mengurangi kekuatan ini dan meningkatkan
mobilitas dari rantai polimer, sehingga fleksibilitas dan ekstensibilitas
lapisan coatings meningkat (Banker 1966).
Edible coatings telah banyak digunakan untuk produk pangan seperti
buah-buahan, sayuran, produk daging, unggas maupun seafood. Pada
buah-buahan seperti apel (Wong et al. 1994) dan strawberry (Ghaout et
al. 1991). Sayuran seperti tomat (Park et al. 1994), demikian juga pada
udang beku, sosis dan ikan.
PENUTUP
1.3.1 Kesimpulan
1.
Edible coating merupakan suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan
yang dapat dimakan, dibentuk untuk melapisi makanan (coating) atau diletakkan
di antara komponen makanan yang berfungsi sebagai penghalang terhadap
perpindahan massa (kelembaban, oksigen, cahaya, lipid, zat terlarut), sebagai
pembawa aditif, untuk meningkatkan penanganan suatu makanan dan
merupakan barrier terhadap uap air dan pertukaran gas O2dan
CO2 (Bourtoom 2008).
2.
Proses respirasi yang melibatkan oksigen dari lingkungan akan
mempercepat kematangan dan dapat menyebabkan kebusukan jika tidak
dikendalikan.
2.4 Data Pengamatan
Perlakuan |
Perubahan yang diamati |
Control |
Rusak |
Menggunakan pasta tepung tapioca |
Masih segar |
Menggunakan pasta tepung terigu |
Masih segar tapi sudah mulai berkerut |
PEMBAHASAN
Kitosan merupakan salah satu jenis polisakarida turunan kitin mempunyai sifat dapat membentuk film yang kuat, elastis, fleksibel dan sulit dirobek sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengemas (Butler et al. 1996). Jenis kemasan yang banyak dibuat dari kitosan adalah jenis edible film atau coating. Sifatnya yang edible (dapat dimakan) merupakan keunggulan kitosan sehingga dapat digolongkan ke dalam bahan kemasan yang ramah lingkungan. Sifat lain dari kitosan sebagai bahan edible coatingadalah kitosan merupakan barrier yang baik bagi gas dan uap air karena struktur matriksnya. Sifat barrier kitosan ini lebih baik dari pada polimer berbasis makhluk hidup (biobased polymer) lainnya.
Kitosan juga mempunyai sifat antimikrobial danbiodegradable (Steinbüchel dan Rhee 2005 dalam Bourtoom 2008). Menurut Alamsyah (2006) dalam Suptijah et al. (2008) menyatakan bahwa penggunaan kitosan sebagai bahan pengawet dan edible coating yang efektif untuk mencegah kerusakan kualitas dan memperpanjang umur simpan produk pangan sangatlah potensial.
Edible coating merupakan suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk untuk melapisi makanan (coating) atau diletakkan di antara komponen makanan yang berfungsi sebagai penghalang terhadap perpindahan massa (kelembaban, oksigen, cahaya, lipid, zat terlarut), sebagai pembawa aditif, untuk meningkatkan penanganan suatu makanan dan merupakan barrier terhadap uap air dan pertukaran gas O2dan CO2 (Bourtoom 2008).
Edible coating juga
dapat mencegah kerusakan bahan akibat penanganan mekanik, membantu
mempertahankan integritas structural dan mencegah hilangnya
senyawa-senyawa volatile, dan sebagai carrier zat aditif seperti
zat antimikrobial dan antioksidan pada bahan (Kester dan Fennema 1988). Edible
coating dapat melindungi produk segar dan dapat juga memberikan efek yang
sama dengan modified atmosphere storage dengan menyesuaikan komposisi
gas internal. Keberhasilan edible coating untuk buah tergantung pada
pemilihan film ataucoating yang memberikan komposisi gas internal
yang dikehendaki sesuai untuk produk tertentu (Park 2002). Komponen edible
coating terdiri dari tiga kategori yaitu hidrokoloid, lipid dan
kombinasinya. Hidrokoloid terdiri atas protein, turunan selulosa, alginat,
pektin, tepung (starch) dan polisakarida lainnya, sedangkan lipid terdiri dari
lilin (waxs), asilgliserol dan asam lemak (Krochta dan Mulder-Johnston 1997).
Contoh bahan-bahan edible coating untuk melapisi buah, seperti
selulosa, kasein, zein, protein kedelai dan kitosan. Bahan-bahan ini dipilih
karena memiliki karakteristik berupa tidak berbau, tidak berasa dan transparan.
Hanya saja tidak mudah untuk mengukur sifat permeasi gas
pada coating setelah diaplikasikan pada buah (Park 2002). Hidrokoloid
yang digunakan untuk edible coating dapat dibedakan berdasarkan komposisi,
berat molekul dan solubilitas air. Berdasarkan komposisi hidrokoloid dibagi
menjadi karbohidrat dan protein. Karbohidrat terdiri dari tepung (starch), gum
tumbuhan (alginat, pektin dan gum arab) dan modifikasi kimia tepung.
Hidrokoloid protein terdiri dari gelatin, kasein, protein kedelai, whey
protein, wheat gluten dan zein. Komponen plasticizer yang
ditambahkan ke dalam edible coating berfungsi untuk mengatasi sifat
rapuh lapisancoating yang disebabkan oleh kekuatan intermolekuler
ekstensif. Plasticizer mengurangi kekuatan ini dan meningkatkan
mobilitas dari rantai polimer, sehingga fleksibilitas dan ekstensibilitas
lapisan coatings meningkat (Banker 1966).
Edible coatings telah banyak digunakan untuk produk pangan seperti
buah-buahan, sayuran, produk daging, unggas maupun seafood. Pada
buah-buahan seperti apel (Wong et al. 1994) dan strawberry (Ghaout et
al. 1991). Sayuran seperti tomat (Park et al. 1994), demikian juga pada
udang beku, sosis dan ikan.
PENUTUP
1.3.1 Kesimpulan
1.
Edible coating merupakan suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan
yang dapat dimakan, dibentuk untuk melapisi makanan (coating) atau diletakkan
di antara komponen makanan yang berfungsi sebagai penghalang terhadap
perpindahan massa (kelembaban, oksigen, cahaya, lipid, zat terlarut), sebagai
pembawa aditif, untuk meningkatkan penanganan suatu makanan dan
merupakan barrier terhadap uap air dan pertukaran gas O2dan
CO2 (Bourtoom 2008).
2.
Proses respirasi yang melibatkan oksigen dari lingkungan akan
mempercepat kematangan dan dapat menyebabkan kebusukan jika tidak
dikendalikan.
DAFTAR PUSTAKA
Bourtoom
T. 2008. Edible films and coatings: characteristics and
properties. International Food Research Journal 15(3): 237-248.
Suptijah P, Gushagia Y, Sukarsa DR . 2008. Kajian efek daya hambat kitosan terhadap kemunduran mutu fillet ikan patin (Pangasius hypopthalmus) pada penyimpanan suhu ruang. Buletin Teknologi Hasil Perikanan Vol. XI (2): 89-101.
Ghaout, AE, Arul J, Ponnampalam R, Boulet M. 1991. Chitosan coating effect on storability and quality of fresh strawberries. Journal Food Science Vol. 56 (6): 1618-1631.