-->

Seorang Pengkritik Katolik Menjadi Katolik – Kisah Kelli Beaumont

advertise here
Seorang Pengkritik Katolik Menjadi Katolik – Kisah Kelli Beaumont
Gambar Vatikan
Gambar Vatikan


Kelli Beaumont (Sumber: chnetwork.org)

Suami saya bernama James, ia lahir dan dibesarkan sebagai seorang Katolik, tapi saya beruntung untuk menginjili langsung suami saya untuk keluar dari Gereja Katolik dan menjadikannya seorang Methodist yang baik, dan akhirnya kami melayani bersama sebagai pelayan orang muda Methodist. Saya percaya, kalau pendidikan Katoliknya kurang mempunyai pengajaran doktrinal yang benar dan kurangnya pengetahuan akan Alkitab, berpusat hanya setia ikut Misa dan tata cara seremonial saja, tanpa memahami realitas di balik itu semua. Ajaran doktrinal yang salah yang telah ia terima membuat pekerjaan saya dalam memisahkan ia dari Gereja Katolik menjadi semakin mudah. Saya berpikir, kalau saya menyelamatkannya, dari tradisi yang dibuat manusia yang mengajarkan karya teologi yang tidak beriman, sarat dengan paganisme dan takhayul. Ia bergabung saya dalam antusiasme Protestan saya, yang mengkritik Gereja Katolik.

Anda bisa bayangkan betapa kecewanya kami, ketika teman-teman baik kami mengumumkan pada kami, kalau mereka meninggalkan pelayanan Methodist untuk bergabung dengan Gereja Katolik! Kami meneteskan air mata demi jiwa-jiwa mereka. Kami segera merencanakan perjalanan sehari untuk mengunjungi mereka dan menyelamatkan mereka dari kesalahan mereka yang berbahaya itu. Dari luar, tampaknya perjalanan ini menjadi permulaan perjalanan saya ke Gereja Katolik, namun Allah sudah meletakkan fondasi untuk perjalanan ini bertahun-tahun sebelumnya.

Pada masa kanak-kanak, saya punya daya tarik alami akan salib. Melalui saliblah pertama kali saya menemukan siapa itu Yesus. Menjelang tahun 1980, sekitar usia 5 tahun, saya menangis tersedu-sedu kepada mentor yang bukan anggota keluarga saya yang bernama Mildred Monk, tentang apa yang Yesus perbuat di kayu salib, dan dia menghibur dan membimbing saya dengan begitu indah. Karena cinta saya yang sederhana atas anugerah Yesus di kayu salib, maka saya ingin “sebuah kalung salib dengan Yesus di salib itu.” Sekitar saya berusia 8 tahun, nenek saya mengajak saya untuk membeli kalung salib yang bagus, namun dia tidak membelikan kalung salib dengan Yesus, karena “kalung itu buat orang Katolik”. Dia melanjutkan, “Orang Katolik suka mengingat kalau Yesus mati, kami suka mengingat Yesus itu hidup.” Inilah “ajaran Katolik” yang pertama kali saya terima. Untuk memastikan kebenaran nenek saya, dia adalah orang yang paling luar biasa dan yang paling berpengaruh dalam iman Kristen saya. Saya berhutang pembinaan terhadap nenek saya, Ny. Monk, dan banyak orang lainnya di Centenary United Methodist Church. Dan kebetulan sekali nenek saya itu tidak suka dengan Gereja Katolik. Dia tidak pernah berbicara tentang Gereja Katolik lagi, sampai saya memutuskan menjadi seorang Katolik pada usia 30 tahun.

Pada masa remaja dan awal usia 20-an, saya dibekali dengan apologetika dan studi Alkitab. Saya sangat lapar akan pengetahuan, sehingga saya merasa tidak pernah puas. Itulah rasa lapar yang agresif yang berada dalam diri saya pada masa itu. Dalam waktu singkat, saya jatuh ke dalam dosa, namun perjalanan keluar dari dosa itu membuat saya bertumbuh lebih dalam lagi dalam hubungan saya dengan Tuhan, dan juga hasrat saya untuk mengetahui kebenaran yang absolut. Kekuatan pendorong utama akan pengetahuan berasal dari banyak denominasi Kristen yang berbeda-beda, semuanya mengklaim bahwa mereka mengikuti Roh Kudus yang sama dalam cara menafsirkan Alkitab yang sama. Sebagai seorang anak, saya sudah diejek oleh orang dari denominasi Kristen lain, karena kepercayaan Methodist yang saya imani. Di bangku kuliah, saya menyaksikan debat yang tidak sehat antara berbagai kelompok iman Kristen, dan saya benar-benar ikut serta di dalamnya. Satu hal yang saya perhatikan adalah bahwa setiap denominasi Kristen tiba-tiba menemukan persatuan dalam menentang agama Katolik. Saya menjadi tertarik dengan alasan ini, yang membuat saya membela semua Protestanisme melawan Gereja Katolik. Saya sudah menggali para teolog Protestan terkemuka demi pengetahuan ajaran-ajaran Katolik, dan saya menemukan bahwa ajaran-ajaran Katolik itu sangat bertentangan dengan apa yang disepakati oleh sebagian besar orang Protestan, sehingga jelas bagi saya kalau ajaran Katolik itu ajaran sesat yang aneh. Saya merasa terdorong untuk mencari ajaran apa pun yang menentang ajaran Katolik dan saya sedang membangun gudang amunisi yang berisikan argumen anti-Katolik dalam perang demi kebenaran. Pada dasarnya, saya ingin bertempur melawan ajaran palsu, sehingga banyak orang bisa mengenal Yesus yang sebenarnya.

Tidak pernah terpikir oleh saya bahwa sumber yang saya miliki itu tidak kredibel. Bagaimanapun juga, orang-orang yang saya ambil informasinya berasal dari beberapa denominasi Protestan yang berbeda, menerima gelar master dalam berbagai hal seperti Sejarah Gereja dan Filsafat Pemikiran Kristen, Doktorat dalam Pelayanan dan Teologi, dan sebagainya. Orang-orang ini seharusnya bisa menjadi yang bisa saya percaya untuk mengetahui segala hal yang diperlukan untuk membentuk pemahaman kebenaran yang terdidik. Saya mempercayai mereka dan melahap apa pun yang bisa mereka ajarkan mengenai Protestanisme dan Katolisitas. Saya punya argumen untuk setiap argumen, pembelaan untuk setiap kontra-argumennya.

Akan tetapi, pada saat yang sama, ada perasaan tidak nyaman yang mendalam mengenai fakta bahwa para teolog Protestan ini juga tidak sepakat satu sama lain. Saya perlu tahu, gereja mana yang benar. Bagaimana saya melindungi diri saya dari kesalahan doktrinal? Saya mulai mempelajari Alkitab dengan mendalam untuk mencari apa yang Allah kehendaki, agar orang Kristen percaya dalam hal-hal seperti pembaptisan, persekutuan, keputusan moral, kehendak bebas, predestinasi, dan lain-lain. Saya ingin melakukan apa yang benar di mata Allah, namun berusaha menyelamatkan orang banyak dari iman Katolik adalah fokus utama saya ketika bertemu dengan suami saya pada tahun 1997.

Suami saya itu mudah untuk “diselamatkan” dari agama Katolik. Namun ketika saya melihat ke belakang, saya menyelamatkan James dari Gereja Katolik dengan mengajarkannya teologi Katolik tentang keselamatan. Saya tidak menyadari bahwa saya melakukan itu, karena kami berdua tidak tahu apa yang sebenarnya Gereja Katolik ajarkan tentang ajaran ini. Semua yang saya katakan kepadanya hanya didasarkan pada Kitab Suci dan hal itu masuk akal ke dalam hatinya yang mampu menilai dengan baik. Hal itu cocok dengan cara saya dibesarkan dalam ajaran Methodist, karena ajaran John Wesley mengenai keselamatan sangat mirip dengan ajaran Katolik. Oleh karena itu, ia sering dikira sebagai simpatisan Katolik.

Saya dan James menikah pada tahun 1999, dan ia menjadikan saya menjadi seorang Methodist yang hebat. Saya merasa senang punya suami yang melayani bersama. Saya sangat menghargai pendidikan dan pelayanan di United Methodist Church. Kami berdua tidak ada yang ditahbiskan, namun pendidikan yang dienyam suami saya dalam bidang keuangan dan latar belakang pendidikan dan didikan keluarga saya terbukti sangat membantu dalam struktur United Methodist Church. Akhirnya kami melayani bersama sebagai pelayan orang muda, yang membawa saya kembali ke bagian dari kisah kesaksian ini mengenai teman-teman dekat Methodist kami.

Di awal tahun 2005, mereka memanggil kami untuk mengatakan bahwa mereka sudah memutuskan untuk meninggalkan pelayanan tertahbis Methodist mereka yang sedang berkembang untuk menjadi Katolik. Mereka tinggal sekitar dua jam perjalanan dari rumah kami, jadi kami membawa bayi dan anak kami yang masih kecil dan menuju ke rumah mereka di akhir pekan depan.

Teman kami itu menyambut kami dengan tangan dan pikiran yang terbuka. Si suami mengatakan bahwa itulah yang ia butuhkan, yaitu kesempatan untuk menguji iman Katolik yang baru ia anut dalam suatu debat yang hidup bersama dengan teman-teman Protestannya yang sudah memiliki dasar yang kuat. Bagaimana kalau ia sudah melakukan kesalahan dengan meninggalkan karir pelayanannya di gereja Methodist untuk bergabung dengan Gereja Katolik yang tanpa adanya peluang berkarir, sementara itu (pada saat itu) ia masih berusaha untuk menafkahi 6 anak dan satu istri? Ini menjadi kesempatan baginya untuk mencari tahu. Ia menghormati kecerdasan kami, dan ia tahu bahwa malam itu akan menjadi malam yang panjang. Dan begitulah yang terjadi.

Pada saat itu saya seorang pendebat yang sangat antusias. James berharap untuk bergabung dengan saya dan memenangkan perdebatan ini demi teman saya itu. Tidak perlu waktu yang lama untuk memulai debat. Apa yang menjadi topik pertama kita? "Sola Scriptura" (Hanya Kitab Suci). Sebelumnya, saya pernah memenangkan topik perdebatan ini terhadap kenalan Katolik saya. Saya mulai dengan baik dalam hal ini, namun tak lama kemudian setelah pembahasan semakin dalam, saya mengalami sentakan teologis dalam batin saya. Kenapa saya bisa begitu buta! Saya terkejut. Semua perasaan saya itu saya sembunyikan, dan dalam perdebatan selanjutnya, sebagian besar saya tetap diam.

Menjelang poin ini, saya tidak sengaja menemukan bahwa Alkitab merujuk pada suatu insiden yang tidak ditemukan dalam Alkitab, dan untuk memahami apa yang sedang terjadi, seseorang harus melihatnya di luar Alkitab. Insiden ini ditemukan dalam surat Yudas ayat 9 yang berbunyi, “Tetapi penghulu malaikat, Mikhael, ketika dalam suatu perselisihan bertengkar dengan Iblis mengenai mayat Musa, tidak berani menghakimi Iblis itu dengan kata-kata hujatan, tetapi berkata: ‘Kiranya Tuhan menghardik engkau!’” Waktu itu saya sedang mempelajari cara-cara menghardik iblis, dan saya ingin tahu lebih banyak, kemudian saya membuka kitab Ulangan untuk mencari di mana ayat tentang Musa dikuburkan, dan saya berharap untuk membaca sedikit tentang pertengkaran antara St. Mikael dan iblis, tapi saya tidak menemukannya. Saya sengaja menghindari buku-buku komentar tentang Alkitab, maka saya menemukan jalan buntu untuk memahami lebih lanjut berdasarkan hanya Alkitab. Jika saya ingin tahu apa yang dibicarakan oleh sang penulis kitab suci yang diilhami ini, maka saya harus membaca sebuah buku kuno yang berjudul, “The Assumption of Moses” (Asumsi Musa atau Perjanjian Musa –red.) yang berisi kisah yang dirujuk oleh sang penulis kitab suci itu. Pada dasarnya, untuk memahami Alkitab saya dipaksa untuk keluar dari Alkitab. Ayat ini mungkin tidak menjadi masalah bagi kebanyakan orang, namun Allah telah meletakkannya dalam pikiran saya. Mengapa Alkitab justru memaksa saya untuk keluar dari Alkitab? Seharusnya kita tidak perlu mencari ke kitab lain untuk memahaminya. Saya sudah merenungkan masalah ini selama berbulan-bulan sebelum berdebat tentang agama Katolik bersama dengan teman-teman kami, jadi ketika teman kami berkata, “Bagaimana kita bisa mengatakan ‘Hanya Alkitab’? Bahkan mesin cetak belum ditemukan pada 1.500 tahun pertama Kekristenan.” Wah! Untuk pertama kalinya saya menyadari bahwa selama 1.500 tahun pertama, umat Kristen sudah mencari sesuatu di luar Alkitab untuk memahaminya, karena mereka tidak punya akses yang mudah ke Alkitab! Saya tidak ingin lagi berbicara, pada saat itu Allah membangunkan saya secara rohani. “Dengarkan! Dengarkan!” Dan saya lakukan demikian. James merasa bingung dengan sikap diam saya. James terus berdebat sendirian sepanjang malam, namun dalam batinnya seolah-olah pendamping debatnya sudah meninggalkannya. James bertanya-tanya, mengapa saya tidak memberikan dukungan pada apa yang ia katakan. Ia tidak pernah berhenti bertanya kepada saya; ia hanya melanjutkan dari topik ke topik, pada saat itu ia mengalami kekalahan dalam debatnya. Sedangkan pada diri saya, hati saya berantakan. Saya tetap tenang dan bermain dengan bayi saya, dan saya hanya terus mengulang-ulang apa yang ada di benak saya tentang hal yang membuat diri saya goyah.

Argumen-argumen Protestan kami yang sudah membantu kami selama bertahun-tahun hancur berkeping-keping di setiap topiknya, dan teman kami itu punya banyak sekali ayat-ayat Alkitab yang mendukung semua yang ia katakan. Dengan pemahaman yang benar tentang pokok permasalahan seperti api penyucian dan suksesi apostolik, dikombinasikan dengan ayat-ayat Alkitab yang relevan, saya tidak bisa memenangkan perdebatan ini dan menyelamatkan teman-teman saya. Saya merasa sangat cemas. Untuk pertama kali, saya mendengar pengajaran Katolik yang diartikulasikan dengan benar dari orang-orang yang memiliki pengetahuan sebagai suatu kebalikan dari kesalahpahaman dan salah tafsir dari ajaran Katolik yang sudah saya terima bertahun-tahun.

Karena saya sudah menghabiskan bertahun-tahun mengisi pikiran dengan pendidikan anti-Katolik yang sekarang tampak tidak benar, saya seolah-olah merasa kehilangan identitas. Saya seharusnya tidak belajar iman Katolik dari orang-orang Protestan. Saya seharusnya tidak belajar iman Katolik dari seorang Katolik yang tidak tahu akan imannya. Namun inilah satu-satunya sumber yang saya miliki. Saya tidak pernah mencari kebenaran di tempat yang benar. Demi integritas intelektual, saya seharusnya mempelajari Iman Katolik dari sumber-sumber Katolik, oleh karena itu saya akan tahu apa yang sebenarnya diajarkan oleh Gereja Katolik, maka jika kemudian saya tidak setuju, saya akan tidak setuju dengan ajaran yang sebenarnya bukannya tidak setuju dengan informasi yang salah. Sayangnya kebanyakan argumen Protestan menjadikan informasi yang salah ini sebagai dasar untuk menentang agama Katolik. Sejauh ini inilah hal yang paling memilukan bagi saya. Saya benar-benar terluka setiap harinya karena hal ini, namun rasa sakit pada perdebatan malam itu terasa lebih buruk. Dengan jelas argumen-argumen saya itu dibangun di atas pasir.

Pada malam berikutnya, perjalanan pulang menjadi sangat panjang. Bayi saya tidak mau duduk di kursi mobilnya dan dia menangis selama dua jam tanpa berhenti, yang membuat saya dan James tidak sempat membahas apa yang terjadi di rumah teman kami itu. Setibanya di rumah, tidak ada waktu untuk berdiskusi sebelum tidur. Dalam pikiran saya, saya merasa sendirian ketika saya mencoba untuk tidur. Saya merasa hancur dengan kenyataan bahwa Yesus tidak memberikan kita sebuah kitab sebagai satu-satunya otoritas yang Ia berikan atas kebenaran doktrinal. Yesus juga tidak pernah menyinggung hal ini dalam catatan-catatan dari sabda-Nya. Ketika saya masih kecil, saya melihat bahwa semua denominasi Kristen yang berbeda yang saling merendahkan, karena sudah sejak awal saya belajar bahwa setiap denominasi itu saling tidak sepakat dengan denominasi lainnya, walaupun mereka semua menggunakan Alkitab yang sama dalam menggunakan perdebatan intelektual mereka satu sama lain. Pada usia 11 atau 12, saya merasa yakin kalau semua denominasi ini adalah perbuatan iblis, yang memecah-belah dan menaklukannya.

Ketika saya berada di usia dewasa muda, saya tidak merasakan bahwa denominasi apa pun memahami kebenaran yang 100%, namun saya berpikir bahwa seluruh kebenaran doktrinal yang 100% itu terdapat dalam Alkitab. Saya menggantungkan kepercayaan saya hanya pada Kitab Suci saja, dan saya percaya itulah satu-satunya alat yang semua umat Kristen di sepanjang sejarah untuk tujuan itu. Melalui Alkitab, kita bisa menemukan kesatuan Kristen, jika kita bisa menemukan cara yang tepat untuk menafsirkannya. Alkitab adalah satu-satunya otoritas bagi saya, keamanan yang saya pegang dari kesalahan doktrinal. Saya sudah mengabdikan hidup saya untuk menemukan kebenaran melalui Alkitab saja. Sekarang saya menyadari bahwa hal itu tidak demikian, dan Yesus tidak akan membiarkan para pengikut-Nya selama 1.500 tahun tidak punya akses yang mudah pada Alkitab, jika Alkitab adalah satu-satunya alat otoritas kebenaran.

Selain itu, orang-orang yang buta huruf tersebar luas dalam rentang waktu sejarah. Bagaimana umat Kristen dilindungi dari kesalahan? Lebih penting lagi, bagaimana saya sendiri bisa dilindungi dari kesalahan? Ada ribuan denominasi Kristen yang berbeda-beda, semuanya mengklaim bahwa mereka mengikuti Alkitab yang sama, apakah ada kesaksian tambahan sebagai cara lain yang Yesus maksud supaya diikuti umat beriman supaya mengetahui kebenaran. Namun apa itu?

Saya menangis di bantal saya sambil memikirkan hal-hal ini. Akhirnya saya tertidur, dan saya masih ingat saat saya terbangun pada keesokan paginya. Saya duduk di tempat tidur, di luar begitu cerah. Meskipun saya belum sepakat dengan agama Katolik, entah bagaimana saya langsung tahu bahwa otoritas Allah itu berkaitan dengan Paus. Saya berteriak pada diri saya sendiri, “Saya cinta dengan Paus saya.” Itulah ucapan yang berasal dari Roh Kudus dan memberikan ketenangan pada diri saya, tapi pada saat itu saya masih tidak percaya dengan agama Katolik.

Keesokan harinya, saya dan James saling berbagi pikiran tentang semua yang kami alami. Sekarang James tahu sikap diam saya selama debat, dan saya mengetahui bahwa James tertarik dengan penjelasan teman-teman kami. James pulang sambil membawa tiga buku, “Born Fundamentalist, Born Again Catholic” oleh David B. Currie, “Rome Sweet Home” oleh Scott dan Kimberly Hahn, dan “Journeys Home” oleh Marcus Grodi. James siap membaca buku-buku itu, sedangkan saya sendiri belum siap.

Saya perlu sesuatu di luar jalur biasa. Saya butuh angka-angka. James ada di hadapan computer, maka saya meminta supaya ia mencari populasi umat beragama. Dari angka-angka ini, ada sesuatu yang secara khusus memberikan saya tekanan. Waktu itu, jika Anda menggabungkan semua denominasi Protestan, termasuk semua denominasi yang tidak dianggap “Kristen”, maka Gereja Katolik memiliki jumlah dua kali lipat dibandingkan semua gabungan denominasi itu. Bayangkan, gabungan denominasi! Sementara saya kembali ke rutinitas harian saya sebagai ibu dan melakukan pekerjaan rumah tangga, saya dibiarkan untuk merenungkan fakta itu. Saya tidak tertarik untuk membaca buku “pencucian otak” yang diberikan oleh teman-teman kami.

Di sisi lain, James segera membaca buku-buku itu. Dalam beberapa jam, ia keluar dari kamar sambil berlinang air mata, dan ia berkata kalau saya harus membaca bab ini. Sampai saat ini, James tidak pernah tahu doa-doa terakhir saya di tempat berlutut, ketika komuni di gereja Methodist. Sepanjang perjalanan saya melalui pendidikan yang anti-Katolik, saya sudah mempelajari bahwa umat Katolik percaya bahwa roti dan anggur itu menjadi Tubuh dan Darah Kristus, maka umat Katolik percaya kalau mereka benar-benar makan Tubuh-Nya dan minum Darah-Nya. Bagi saya ini adalah ajaran sesat, penyembahan berhala, dan perbuatan yang kotor. Saya sudah memahami kalau kepercayaan ini diciptakan oleh umat Katolik berabad-abad yang lalu, pada masa sensasionalisme dan takhayul mendominasi dunia agama. Namun untuk beberapa alasan, dari semua ajaran Katolik yang saya pikir kalau saya memahaminya, hal ini menjadi sesuatu yang saya idamkan. Sekitar tiga tahun, rasa lapar ini tumbuh dalam diri saya, sampai saya mendapati kalau diri saya memohon kepada Allah, setiap kali saya berada di tempat berlutut ketika komuni, supaya Ia mengubah roti dan jus buah yang saya terima menjadi benar-benar Tubuh dan Darah-Nya. Saya selalu diam-diam memohon kepada Allah, “Saya mohon, ya Tuhan! Saya mohon kiranya Engkau melakukannya untuk saya! Saya tahu hal ini tidak benar atau hal yang wajar, tapi inilah yang saya inginkan daripada-Mu!”

Hal itu berlangsung sampai suatu waktu saya meneteskan air mata di tempat berlutut untuk komuni setiap Minggu Perjamuan Kudus/Komuni, saya memohon kepada Allah untuk anugerah yang istimewa ini. Saya percaya rasa lapar ini adalah anugerah dari-Nya. Ia mengejar saya, dan saya ingin bersatu dengan Yesus dengan cara ini. James tidak tahu apapun tentang hal ini. Saya merasa bahwa inilah campur tangan ilahi dari bab yang ingin James bagikan kepada saya, yaitu Bab 2 dari buku David Currie yang berjudul “Communion and the Real Presence (Komuni dan Kehadiran Nyata).”

Currie mulai menunjukkan ketepatan dari kata-kata Yesus pada Perjamuan Malam Terakhir, “Inilah tubuh-Ku” (Matius 26:26). Saya mengambil pendekatan harfiah untuk tafsiran Kitab Suci ini, kecuali jika hal itu dimaksudkan secara kiasan. Saya tidak pernah menganggap perkataan Yesus pada Perjamuan Malam Terakhir itu secara harfiah, namun tidak ada alasan dalam Kitab Suci untuk melihat perkataan-Nya bermakna lain, selain kebenaran secara harfiah. Dari sana, Currie mengarahkan pembaca menuju Yohanes 6. Ia menyajikan khotbah Yesus secara lengkap, menghilangkan dialog-dialog lain, dan membiarkan kata-kata Kristus menyatakan maknanya (Currie, hal. 36-37). Saya tidak pernah memperhatikan khotbah ini, meskipun ini adalah salah satu khotbah Yesus yang paling panjang yang pernah dicatat. Segala sesuatu dalam Yohanes 6, yang terjadi selama masa Paskah, kemungkinan setahun sebelum penyaliban, sangat mendukung penafsiran kata-kata Yesus secara harfiah yang mengatakan, “Inilah tubuh-Ku … Inilah darah-Ku.”

Dalam Yohanes 6, ayat 66-lah yang paling memberikan kejelasan, ayat ini merupakan ayat dalam Kitab Suci yang mencatat bahwa para murid mengundurkan diri dan tidak lagi mengikuti Yesus karena ajarannya begitu keras. Dan apa yang mengejutkan saya adalah bahwa Ia memperkenankan para murid-Nya untuk pergi. Ia tidak berusaha untuk menambah penjelasan lebih lanjut tentang analogi yang Ia sudah nyatakan, justru sebaliknya, Ia terus menekankan bahwa kita perlu memakan (“mengunyah” dalam bahasa aslinya yaitu Yunani) Daging-Nya supaya beroleh hidup kekal (ibid, hal. 38). Yesus juga mengulangi beberapa kali dan mengatakan bahwa Tubuh-Nya benar-benar makanan dan Darah-Nya benar-benar minuman (lih. Yohanes 6:55).

Segala sesuatu yang ditulis Currie dalam bab ini berperan penting dalam pemahaman saya, namun saya juga menjadi yakin ketika Currie menunjukkan bahwa “Di Gereja perdana, setiap orang yang menulis Ekaristi percaya akan Kehadiran Nyata Kristus”> (ibid, hal. 41). Currie juga memberikan beberapa contoh, salah satunya dari Ignatius dari Antiokhia (sekitar 107 M), yang membuktikan doktrin ini tidak dibuat oleh manusia di Zaman Kegelapan, namun doktrin ini diyakini di sepanjang sejarah. Pada titik ini, saya menjadi sadar bahwa apa yang saya idam-idamkan untuk saya miliki adalah Komuni Kudus. Saya merasa tidak aneh karena mendambakannya, justru saya dipanggil untuk itu. Yohanes 6:44a tertulis, _“Tidak ada seorangpun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa.” Percaya akan mukjizat Komuni Kudus di Gereja Katolik bahwa roti dan anggur menjadi benar-benar Tubuh, Darah, Jiwa, dan Keilahian Kristus menantang akal budi manusia modern, namun secara alkitabiah, historis, dan pribadi saya tidak dapat lagi menyangkal mukjizat ini. Pada masa inilah saya ikut dengan suami saya untuk belajar lebih dalam lagi. Pada waktu itu hampir memasuki awal Masa Prapaskah 2005, dan rata-rata kami tidur malam selama 5 jam saja selama beberapa bulan ke depan, mengabdikan diri kami untuk membaca dan meneliti hal ini.

Dengan setiap pencarian mengenai berbagai aspek Gereja, saya menemukan sedikit demi sedikit apa yang dulu saya pikir Gereja Katolik ajarkan itu tidak benar. Dan apa yang sebenarnya Gereja Katolik ajarkan itu sudah saya diimani selama bertahun-tahun ketika saya mempelajari Alkitab demi mencari kebenaran. Doktrin-doktrin seperti otoritas paus dan Magisterium merupakan konsep baru bagi saya, tapi ketika saya tahu bahwa Kitab Suci mendukung otoritas paus dan Magisterium, bagi saya hal ini menjadi sangat nyata dan tidak pernah senyata ini sebelumnya. Frasa seperti “penumpangan tangan” bermakna signifikan dan sebelumnya hal ini saya abaikan (lih. 2 Timotius 1:6; Kisah Para Rasul 6:6). Tidak ada penjelasan yang lebih baik daripada penjelasan Gereja Katolik dalam menjelaskan Matius 16:13-20. Ajaran dan komentar Protestan perlu usaha keras untuk menjelaskan klaim Katolik atas otoritas Petrus yang diberikan Kristus kepadanya. Jika seseorang membacanya dengan gambalng tanpa adanya pengaruh dari luar, jelas sekali bahwa Petrus diberikan wewenang khusus. Fakta-fakta sederhana seperti berapa kali Petrus dituliskan dibandingkan dengan semua rasul lainnya, Petrus selalu dituliskan yang pertama (dan perlu dipahami bahwa “yang pertama” bukanlah bermakna ordinal, namun mengindikasikan posisi suatu jabatan) merupakan penemuan yang menarik. Beberapa aspek keadilan Allah sudah luput dari perhatian saya sampai saya mendengarkan kebenaran mengenai api penyucian.

Satu demi satu, saya dan James mengambil masing-masing doktrin itu. Satu pertanyaan terjawab dan menuju ke ke pertanyaan berikutnya, dan akhirnya saya punya jawaban yang cukup. Saya tidak punya lagi alasan untuk memprotes Iman Katolik. Perang pribadi saya melawan Gereja Katolik sudah usai, dan saya ingin sekali menerima Yesus dalam Ekaristi.

Waktu itu permulaan Pekan Suci ketika saya dan James merasa sadar akan hal itu. James duduk di lantai di depan hadapan saya. Ia terus berkata, “Saya perlu kembali. Saya cukup mengaku dosa dan kembali ke Gereja. Sangat mudah bagi saya.” Ia menangis, dan saya percaya kalau ia hampir melakukannya, namun ia memutuskan untuk menunggu saya. Saya tidak pernah memintanya. Saya tidak pernah minta James untuk menunggu saya, tapi ia ingin melaluinya dengan ikut RCIA (‘Rite of Christian Initiation of Adults’ atau kita mengenalnya sebagai Katekumen Dewasa –red.) bersama saya. Kami diwawancarai oleh seorang imam setempat selama dua jam pada masa Pekan Suci untuk mendengar konsistensi antara apa yang sudah dituliskan dan apa yang telah diucapkan oleh seorang pelayan tertahbis. Dari wawancara itu, saya diundang untuk ikut kelas RCIA akselerasi yang disetujui uskup untuk beberapa anggota yang salah satu pasangannya sudah Katolik. Kelas itu dimulai tak lama setelah Paskah, dan saya diterima di Gereja Katolik pada musim panas tahun itu, tepatnya tanggal 25 Juni 2005.

Saya dan James menerima Ekaristi bersama-sama, dan tak terduga kami menerima-Nya sambil berlutut, karena imam berjalan ke arah kami dahulu, sebelum umat lain mengantri, dan imam itu memberikan Tubuh dan Darah Yesus. Sekitar setahun sebelum peristiwa ini, Allah berbicara kepada saya ketika di tengah ibadah di gereja Methodist. Waktu itu pengkhotbah sedang membaca Sabda Bahagia dan membaca, “Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran , karena mereka akan dipuaskan” (Matius 5:6), saya berpikir bahwa “saya lapar dan haus” mengingat kembali rasa lapar yang tak terpuaskan yang sudah saya bahas sebelumnya. Allah berkata kepada saya, “Engkau akan dipuaskan!” Saya bisa merasakan kegembiraan-Nya! Sekarang, rasa lapar yang misterius itu sudah dipuaskan pada saat menerima Kristus dalam Ekaristi. Saya sudah dipuaskan! Saya terus berusaha untuk memuaskan rasa lapar itu dengan mengisi pikiran saya dengan lebih banyak informasi, namun rasa lapar itu dipuaskan secara langsung ke dalam tubuh dan jiwa saya, dan masih terus berlanjut.

Saya merasa senang menjadi Katolik, dan James juga merasa senang, karena sudah pulang ke rumah, namun tak seorang pun untuk merayakannya. Tidak ada seorang teman dekat kami yang merasa senang. Keluarga saya merasa kecewa. Tapi saya memiliki kedamaian yang melampaui segala pengertian, dan pada saat itulah hari yang indah.

Sudah 14 tahun sejak saya diterima di Gereja Katolik, dan saya sudah mengalami berbagai macam emosi yang berbeda di sepanjang perjalanan hidup saya. Saya merasa sangat terluka, karena pengucilan yang saya rasakan dari keluarga besar saya. Selama bertahun-tahun, mereka menjadi terbiasa dengan saya sebagai seorang Katolik, sehingga sekarang perasaan itu sudah tidak terlalu menyakitkan lagi. Namun tetap masih ada rasa sakit karena setiap hari saya merindukan persatuan umat Kristen. Saya sudah mengalami kemarahan kepada para ahli dari Kristen Protestan, dan saya sudah memperkenankan Allah untuk mengatasi perasaan ini. Saya merasa bingung mengenai peran saya sebagai seorang pendamai ke Iman Katolik, namun saya tidak tahu cara membagikannya, bagaimana atau seharusnya seperti apa. Namun, sebagian besar saya merasakah kedamaian yang luar biasa. Saya tidak lagi khawatir bahwa diri saya salah. Saya dapat merangkul setiap aspek Yesus dan iman saya dengan kepercayaan total, oleh karena itu, saya menikmati relasi saya dengan Yesus jauh lebih dalam daripada sebelumnya.

Sekarang, saya dan James adalah orang tua homeschooling dari lima anak Katolik yang luar biasa. Kami mengajar agama di sekolah menengah (setingkat SMP –red.) di sekolah agama di paroki kami, dan keluarga saya melayani dalam berbagai hal selama Misa. Sekarang, setelah 14 tahun merenungkan iman Katolik saya, Allah memanggil saya untuk melangkah sedikit lebih jauh, meskipun saya belum tahu seperti apa nantinya.