Prosesi Jumad Agung di Larantuka |
(Seperti tertulis dibuku panduan Semana Santa Paroki Katedral Reinha Rosari 2008)
Kehadiran Gereja Katolik di pulau Timor dan Solor diperkirakan terjadi sekitar tahun 1520 an, tatkala kapal-kapal dagang Portugis selalu tiba tiap tahunnya dari dan ke Malaka untuk perdagangan kayu Cendana.
Dari catatan sejarah diketahui bahwa seorang saudagar Portugis bernama Jese Soares telah mempermandikan 200 orang di Lewonama, sebuah kampung di ujung Timur pulau Flores, tidak terlalu jauh dari Larantuka.
Kemudian seorang imam Dominikan P. Antonio de Taveria, OP sebagai pastor kapal Portugis telah mempermandikan sekitar 5000 orang di pulau Timor.
Selain itu, ketika kapal yang ditumpanginya menyinggahi Lohayong di Pulau Solor dan Larantuka di Pulau Flores, beliau mendapati banyak orang katolik disana dan berkesempatan mempermandikan banyak orang.
Setelah kembali ke Malaka, pastor Antonio melaporkan hal itu kepada Uskup Malaka: Mgr. Jorge da Santa Lucia, OP dan segera Uskup mengirim 3 Misionaris Dominikan ke Solor. Hal itu terjadi tahun 1561. Oleh karenanya, tahun ini ditetapkan sebagai tahun resmi awal karya Misi Katolik di kawasan ini.
Gereja di zaman misi Dominikan mulanya berpusat di Lohayong, Solor sehingga disebut Misi Solor. Konflik dan pertentangan baik dengan penduduk pribumi maupun dari pihak lain terutama dari pihak Belanda sangat mempengaruhi perjalanan panjang sejarah Misi Solor karena telah menelan korban tak ternilai harganya baik jiwa maupun harta benda. Banyak misionaris Portugis yang gugur sebagai martir.
Tak terhitung berapa banyak umat Katolik yang menjadi korban. Pengepungan dan penyerangan yang terjadi berulang kali terhadap basis-basis misi Solor, terutama pusatnya di Lohayong – Solor menyebabkan Pusat Misi Solor harus dipindahkan ke Larantuka pada tahun 1636.
Kedudukan Larantuka sebagai pusat Misi dipandang lebih cocok sehingga ketika Belanda menduduki Malaka dan mengusir Portugis dari sana pada tahun 1641, hampir seluruh kekayaan Portugis di Malaka diungsikan ke Larantuka, termasuk segala kekayaan peralatan ibadat Katolik. Lebih meyakinkan adalah ketika pada tahun 1646 saat diper-mandikannya Raja Larantuka Don Constantinho DVG (Raja Ola Adobala) yang oleh seluruh penduduk diakui sebagai pemimpin rakyat sekaligus sebagai Pemimpin Agama.
Setelah enampuluh tahun lamanya Larantuka menjadi pusat Misi, maka pada tahun 1702 Lifao di pulau Timor dipilih menjadi pusat Misi Timor dan Solor.
Dan akhirnya pada tahun 1769 dipindahkan ke Dili – Timor. Dengan kepindahan pusat Misi ke Lifao, kemudian ke Dili, maka kunjungan imam-imam Misonaris untuk pelayanan umat ke wilayah Larantuka ini sangat jarang terjadi.
Bahkan sejak tahun 1800 umat Katolik disini tidak pernah dikunjungi oleh Imam. Akibatnya, banyak umat Katolik kembali kepada agama asli mereka dan melaksanakan praktek kehidupan yang bertentangan dengan ajaran Katolik.
Meskipun demikian, masih terdapat banyak umat Katolik yang tetap bertahan dengan kebiasaan-kebiasaan hidup rohani berkat adanya Serikat Confreria, sebuah Serikat Persaudaraan bapak-bapak yang dibentuk oleh Pastor Dominikan di abad ke XVII.
Kebiasaan merayakan Liturgi secara meriah, kebiasaan mengadakan perarakan-perarakan dengan lagu-lagu yang mengharukan, kebiasaan menghormati Bunda Maria dengan berdoa Rosario, kebiasaan menghormati orang-orang Kudus seperti: St. Yosef, St. Dominikus, St. Fransiskus dan St. Antonius, semuanya sangat membangkitkan rasa keagamaan di hati umat. Kebiasaan ini tetap hidup dan terpelihara dan telah merupakan budaya umat Katolik di Larantuka.
Misionaris Dominikan lebih mengutamakan doa dan tapa yang dipusatkan pada masa Puasa dan puncaknya pada Perayaan Pekan Suci. Pada masa ini umat berkumpul di Gereja / Kapel / Tori, berdoa bersama dan melakukan tapa.
Tahun 1599 Semana Santa di Larantuka diselenggarakan secara lebih istimewa dengan ujud khusus agar terbebas dari bahaya yang mengancam umat selama 7 bulan.
Sejak 12 Agustus 1598 Benteng Lohayong dikepung dan semua stasi yang merupakan basis umat Katolik Misi Solor diserang oleh musuh yang terdiri dari orang-orang Katolik murtad dan orang-orang kafir yang mengakibatkan banyak orang katolik termasuk Imam-imam terbunuh.
Namun berkat doa dan tapa yang dilakukan selama masa puasa tahun 1599 dan atas bantuan tentara Portugis dari Malaka, penyerangan-penyerangan pihak musuh dapat dipatahkan pada tanggal 24 Maret 1599.
Sebagai ungkapan syukur sekaligus silih, maka Perayaan Pekan Suci tahun itu dirayakan lebih meriah dan istimewa dan untuk pertama kalinya Prosesi Jumad Agung di Larantuka diadakan.