|
Gambar Ilustrasi |
Ketika pengaruh Portugis semakin besar di wilayah Solor, maka timbul persekutuan dari kerajaan-kerajaan kecil di pulau Solor sendiri, dengan kerajaan lainnya di Lomblen, dan Pulau Adonara untuk melakukan perlawanan. Saat itu Portugis mempunyai basis di Lohayong.
Maka dengan inisiatif dari Sahbudin bin Salman Al Farisi yang kemudian disebut sebagai Sultan Menanga, bekerja sama dengan VOC yang kala itu ingin menggeser Portugis dari Lohayong melakukan perlawanan terhadap Portugis dari tahun 1613 sampai 1645.
Karena kerja sama itu maka VOC kemudian memberikan imbalan dengan mengakui Persekutuan Solor Watan Lema di Solor dan memberikan kepercayaan kepada pemimpin persekutuan Solor Watan Lema untuk mengendalikan perdagangan di daerah itu.
Dikatakan bahwa pada awalnya Persekutuan ini mempunyai enam anggota dari kerajaan Lohayong, Lamakera, Lamahala, Labala, terong dan Serbiti, akan tetapi dalam perjalanan kerajaan Serbiti lenyap sehingga persekutuan solor Watan Lema terdiri 5 kerajaan.
Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa Persekutuan Solor Watan Lema ini dimulai pada tahun 1613, disebutkan pula bahwa Kaicili Pertawi dalam rangka merebut benteng Portugis, mempunyai niat untuk kerjasama dengan VOC. Dan rupanya niatnya ini sama dengan niat VOC di bawah pimpinan Apolonius Scotte yang juga ingin menggeser Portugis di Solor. Sehingga karena kekuatan VOC dan Persekutuan Solor Watan Lema sangat kuat, maka Portugis dapat diusir dari Lohayong dan Benteng Lohayong muali dibawa kendali mereka.
Baca Juga: 1 Maret 1913 Pater Piet Noyen SVD - Ada Apa di Lahurus dan Larantuka?
Dari sinilah munculah perjanjian antara Kaicili Pertawi dan VOC yakni; VOC untuk memberikan bantuan keamanan untuk mengamankan Benteng Lohayong dari kemungkinan penyerangan Portugis. Kemudian pada tahun 1620, Protugis merebut kembali benteng Lohayong. Hal ini disebabkan oleh lemahnya kontrol VOC atas keamanan di Benteng. Oleh karena itu posisi Kaicili Pertawi di Menanga pun terancam dengan kembalinya Portugis di Lohayong.
Usaha merebut kembali benteng Lohayong terus dilakukan oleh Portugis dengan bantuan Larantuka. Kali ini merupakan kejayaan bagi Portugis karena atas bantuan dari Kerajaan Larantuka dan Pamakayo, maka Miguel Rangel dari pihak Portugis sukses menguasai Lohayong. Penguasaan itu berlangsung sampai tahun 1636.
Maka agar supaya dia terhindar dari ancaman serius, maka dia (Kaicili Pertawi) beserta pendukung dan warganya sempat mengungsi ke Lamakera dan ada juga ke Gunung. Namun pada tahun 1627 sempat ada konflik wilayah-wilayah yakni antara Lohayong dengan Terong dan Lamahala. Pergolakan ini juga dipicu oleh pengaruh Portugis di Larantuka. Sedangkan politik kerajaan Lamahala sat itu adalah ingin mendapatkan kekuasaan di wilayah Flores Timur melalui hubungan kawin mawin.
Persekutuan Solor Watan Lema berpendapat bahwa konflik ini merupakan masalah serius karena kaitannya dengan Islam, sebab Lamahala juga adalah basis Kerajaan Islam. Maka Kaicili Pertawi mengutus anaknya untuk melakukan ekspedisi dan berhasil menundukan perlawanan kerajaan Islam Lamahala dan Terong dengan menangkap rajanya.
Kemudian pada tahun 1636 Belanda di bawah pimpinan Jan Tamborgen dengan kekuatan penuh dan armada hijaunya. Ia berhasil menguasai sepenuhnya benteng Lohayong dan berhasil memaksa Portugis menarik pasukannya dari benteng Lohayong menuju Larantuka.
Dengan kekuatan besar Belanda itu maka sejak tahun 1645, Portugis tidak lagi mampu mengambil kembali Benteng Lohayong sehingga kekuatan Portugis di NTT yang tersisa melembaga di Larantuka. Dengan adanya Portugis di Larantuka maka raja Larantuka sempat dibaptis menajdi Katolik dan akhirnya hingga saat ini menjadi pilar utama penganut katholik di daratan Flores.
Menurut Ardhana, mengutip Nunheim, kekuasaan Portugis di Flores sejak jatuhnya Benteng Lohayong di Solor (1613) tidak berkembang. Kekuatan formal Portugis yang lain selanjutnya bergeser ke pulau Timor, atau negara Timor Leste saat ini.