-->

Legenda Kampung Balaweling

advertise here
Gambar Ini Hanya Pemanis

Dahulu kala di atas puncak gunung Niu hiduplah seorang nenek bernama Wae Belek, nenek ini menggunakan kekuatan super naturalnya untuk memisahkan darat dan lautan dengan batasan-batasan yang jelas menggunakan tujuh genggam asam dan garam, agar dikemudian hari umat manusia dapat mendiaminya untuk melangsungkan hidup. 

Segala jenis makhluk hidup mulai tumbuh dan bemunculan di permukaan bumi.

Selang beberapa waktu kemudian, hiduplah pula seorang perempuan lagi bernama Kakatua Ninidaya.

Setelah semua tumbuhan sudah memenuhi permukaan bumi, Nenek Kakatua Ninidaya meneruskan kehiduannya dengan bergantung pada kemurahan alam yang antara lain memetik buah-buahan dan sayur-sayuran dari hasil hutan. 

Dalam perjalanannya mencari hasil hutan, Ia menemukan sebuah tumbuhan Belã yang masih muda. 

Nenek Kakatua Ninidaya mengambil tumbuhan tersebut dan menanamnya di dekat kediamannya hingga menjadi besar.

Belã tersebut reta dan pecah, munculah sosok bayi yang kemudian diberi nama Subaraya Wolo Lolon-Keri Koda Male Angi (belã hepak pati tani, wogi toa beda doen, betok Subaraya Wolo Lolon Keri Koda Male Angi). 

Nenek Kakatua Ninidaya pun mengasuhnya hingga dewasa.

Dengan munculnya Subaraya ini membuat nenek Kakatua Ninidaya berpikir keras untuk mengasuh dan melanjutkan kehidupannya.

Entah dengan cara apa lagi agar Subaraya dapat bertahan hidup.

Nenek Kakatua Ninidaya membaringkan Subaraya di dalam sebuah ubi yang ukurannya sangat besar yang sering disebut ue koe.

Lera Wula-Tana Eka melihat hal tersebut maka dengan kuasa-Nya menjadikan sebatang pohon lontar bisa menghasilkan tuak manis agar diminum oleh Subaraya (piku tuak koli kebo ile tuka’ tapa’ tuho Subaraya, pona bai’ marak layo lima holo wora Keri koda Male Angi ).

Ketika Subaraya menangis karena lapar, Lontar tersebutkan meneteskan niranya tepat di mulut Subaraya sampai ia kenyang dan nira tak menetes lagi.

Hal seperti ini terjadi terus menerus tatkala Subaraya lapar.

Tahun-tahun berlahu waktu pun berputar sesuka hatinya hingga Subaraya tumbuh menjadi sosok pria dewasa.

Pohon lontar tak lagi menetes, bagaimana Subaraya melanjutkan hidup? Sang Khalik pun tak menutup mata, maka dikirimi-Nya untuk Subaraya sebuah busur lengkap dengan anak panah, juga seekor anjing ajaib bernama wolo buto laga lema, yang bias berbicaralayaknya manusia.

Subaraya dan anjing itu pergi berburu, anjing itu menyuruh Subaraya untuk menunggu di tempat yang rata dan anjing pergi menggiring babi dari lempat tumbuhnya rotan (uajina wido ile).

Anjing tersebut sendiri berteriak memanggil namanya, juga sendiri menggonggong seperti seorang pemburu dan anjingnya, untuk menggiring babi menuju Subaraya.

Setibanya babi tepat di dekat Subaraya, ia langsung memanahnya. Kala itu belum ada api-apian, sehingga anjing wolo buto laga lema dan Subaraya memakan buruan mereka tanpa membakar atau memasak terlebih dahulu.

Dan babi pertama yang mereka dapat, ketika Subaraya menyembelihnya terdapat Anting kuno (belao), dan gigi taring babi tersebut juga disimpan. 

Setiap harinya mereka hidup seperti ini.

Hari-hari terus berlalu dan setiap hari pula Subaraya dan anjing ajaibnya berburu. 

Tibalah pada suatu hari, ketika mereka sedang berburu menuruni lembah dan menaikai perbukitan, mereka meliha seekor babi.

Keduanya mengejar babi tersebut namun tak juga dapat menangkapnya.

Mereka terus berusaha mengejar, hingga babi itu tertangkap di suatu tempat bernama hingi lama bole – lebe lama maya, tempat yang dihuni oleh sekelompok orang yang menyebut dirinya Jawa Malaka no tua Bateya, Bateya ara lolo.

Subaraya dan anjingnya memotong babi tersebut untuk makan dan menyisahkan bekal untuk besok harinya. Tampak hari sudah mulai gelap.

Mereka berdua hendak pulang namun jangan sampai kemalaman di dalam perjalanan, akhirnya mereka memutuskan untuk beristirahat malam di tempat itu. Ketika Subaraya tidur, tanpa disadarinya anjing wolo buto laga lema meninggalkan dirinya. 

Anjing itu pergi dan tidur bersama seorang gadis bernama Peni Gini Hara Geka Tepa Geka Suba Nina. Keesokan paginya, Subaraya bangun dan melihat anjing ajaibnya tak bersama dirinya. Ia memanggil anjing tersebut untuk pulang sambil mengangkat bekal yang telah disisikan tadi malam. Dalam perjalanan untuk pulang, anjing wolo buto laga lema tiba-tiba berlari kembali ke tempat Jawa Malaka no tua Bateya, Bateya ara lolo dan menemui Peni Gini Hara Geka Tepe Geka Subanina.Subaraya memanggil anjing ajaibnya pulang. Namun hal yang sama terulang kembali hingga tiga kali berturut-turut. Akhirnya atas restu dari kelompok Jawa Malaka no tua Bateya, Bateya ara lolo, maka Subaraya diijinkan untuk membawa Peni Gini Hara Geka Tepe Geka Subanina bersama mereka untuk kembali ke hunian Subaraya yakni Wuhu Wolo Matan-Tana Mapen Lera Gere. Kembalinya dari tempat tersebut, akhirnya Subaraya dan Peni Gini Hara Geka hidup bersama sebagai suami dan istri hingga dikaruniai oleh sang Khalik pada mereka tujuh orang putra dan saudarinya masing-masing.

Perkampungan yang dihuni oleh Subaraya tersebut Wuhu Wolo Matan-Tana Mapen Lera Gere, namun mereka masih mengkonsumsi makanan tanpa dimasak terlebih dahulu (reka tange), karena mereka belum mengenal yang namanya api.

Hingga datanglah seorang pengembara dari suku Kein dan mengajarkan pada Subaraya cara membuat api, yakni menggunakan bilah bambu yang masih mentah dan sabuk kelapa, dan digosok.

Setelah mengenal api, akhirnya mereka dapat mengkonsumsi makanan yang sudah dibakar dan dimasak.

Sebagai ucapan terima kasih kepada pengembara tersebut, Subaraya memberinya seekor anjing betina beserta tujuh anaknya. Sepeninggalan Suku Kein, datang lagi orang dari Suku Baon, dari Sina Jawa, Lepan bata, dan juga yang lainnya. Dan menghuni di dekat perkampungan Subaraya.

Tujuh putra Subaraya ada yang membuka perkampungannya sendiri. Ada pula yang terus bersama Subaraya. Setela itu mereka pindah dan menghuni kampung Kleuan Lala Eban, Tana Bala Koran Gobak.

Namun pada saat tinggal di tempae tersebut, keturunan mereka tak juga bertambah, justru sebaliknya kematian dan penyakit yang selalu menimpa mereka. Karena itu mereka berpindah lagi ke Lewo Wao Lama Salan, Tana Pigan Lama Selun.

Setelah sekian lama menghuni kampong tersebut, mereka pindah lagi ke Ku’ Kayo Bala, Tana Pusu’ Laka Beak.

Di tempat inila mereka meletekan Nuba Bou Lakaro’, Adak Nara Medo Wato.

Kehidupan berjalan sebagaimana biasanya namun kejadian seperti bencana dan penyakit datang menimpah mereka sehingga mereka berpindah lagi ke Keru Geru Wolo Liwo Walan Belen Lolon.

Di kampung ini berdatangan banyak orang dari berbagai suku suku ile jadi woka dewa, suku Niron, Baun, Muda Yen. Rae lali warat haka pe ata suku sina jawa, Suku Keban, Hayon Lein, Niron Gein, Muda Tratunawa, Krowin, Sogen.

Rae teti timu hau pe rae ata tena mau ne suku keroko puken lepan bata, Suku Kein, suku hayon Lepan bata, Hayon Leki Seran Mau Wada / Hayon Lepe Lagaria, Kaha Kokiboki Wulan Gita, Moton, Tana Werang, Tukan, Kikon. Suku Sina Sawun.

Maka terbentuklah Suku Pulo-Wu Lema dan iki Koten soga Kelen, iki Hurit soga maran Maran, selama berlaku hingga sekarang yang disebut dengan dewan empat besar (Semata Pa). 

Yang bertugas membantu Bapa Lewo-Ema Tana agar kampung selalu sejahtera dan damai. 

Tugas dari Semata Pa jika dalam sebuah upacara adat, pada saat ritual menyembelih hewan korban yakni Koten adalah suku Keban Koten, bertugas memegang bagian kepala hewan (pehe tilu-haga tara’). 

Kelen adalah suku Keban Kelen, bertugas memegang kaki dan ekor hewan (tubo iku’-lawe lei’). 

Hurit adalah suku Niron Hurit, bertugas memegang parang untuk menyembelih (pehe suri kada). 

Maran adalah suku Niron Mara, yang bertugas mengucapkan doa dan mantra (tutu koda).

Bertahun-tahun mereka menghuni perkampungan tersebut, akhirnya berpindah dan membentuk perkampungan baru yang diberi nama Lewo Pusu’ Bura, Tana Bura Kamba Lese, namun di kampong yang baru ini, mereka tidak lama menetap karena terjadi perang saudara yang mana mereka saling membunuh.

Hingga pada suatu hari, pagi-pagi buta Subaraya pergi menjalankan aktivitasnya sehari-hari di tapo eba untuk mengiris tuak, dan memanen daun tembakau. 

Ketika siangharinya ia kembali, di tempat yang rata Ia bertemu dengan kekuatan Lewo tana Bapa timu ema wara ddalam rupa seekor buaya yang bernama kobu mogu moga gaya, yang berpengawal seekor burung bernama ketuok kebik. 

Panjang buaya tersebut dengan ekornya yang melilit gunung dan kepalanya berada tepat di tempat yang rata tersebut. Melihat binatang ini,. Hari sudah semakin siang Subaraya sudah sangat lapar. 

Namun niatnya untuk melanjutkan perjalanan pung diurungkan karena kobu mogu moga gaya telah menghalangi jalan. Subaraya sangat ketakutan. Subaraya meletakan semua barang bawaannya di tanah. 

Burung ketuok kebik terbang mengelilingi bapa timu ema wara tersebut mulai dari ekornya, mengintari tubuh hingga di kepalanya. 

Bapa timu ema wara menyuruh ketuok kebik untuk memanggil bapa ata maran untuk menghampirinya. 

Ketika ketuok menyampaikan kepada Subaraya namun Subaraya tak mau karena dia takut dimangsa oleh kobu tersebut.

ketuok kebik terbang kembali dari ekor sampai ke bagian kepala dan menyampaikan kepada bapa timu ema wara.

 Namun bapa timu ema wara menyuruh ketuok hingga tiga kali dan akhirnya Subaraya pun bersedia untuk mengampiri bapa timu ema wara. Ketika tiba di hadapan bapa timu ema wara, buaya tersebut berpesan pada Subaraya agar membuka perkampungan baru di tempat dimana kepalanya berada.

Karena kampung yang sekarang dihuni, merupakan tempat persinggahan segala macam penghuni bumi baik dari utara, selatan, timur maupun barat.

Kampong dibangun tersebut harus diberi nama Lewo gika uku’, tana lega lara’.

Dan jika melakukan ritual adat, maka Subaraya harus terlebih dahulu memberikan sesajian untuk Bapa timu ema wara, jika tidak dilaksanakan maka apapun yang dilakukan oleh Subaraya dan rakyatnya tidak akan pernah mendapatkan hasil yang baik karena tidak mendapat restu setelah berkata demikian, Kobu mogu moga gaya kembali ke tempatnya.

Dengan demikian, berdasarka amanat yang disampaikan oleh Bapa timu ema wara kepada Subaraya, maka Subaraya pun mengumumkan kepada semua penghuni kampung untuk membuat sebuah perkampngan baru. 

Dalam proses pembabatan hutan, semua tanaman dan pepohonan sudah diratakan dengan tanah, namun ada sebuah pohon besar yang diyakini sebagai kekuatan lewo tana, tak bisa tumbang walau kapak dan parang sudah menembus ddibalik batang pohon tersebut. 

Pohon itu bernama Loo. Kampong tersebut pun diberi nama sesuai yang dipesan oleh bapa timu ema wara yakni Lewo gika uku’, tana lega lara’ Beberapa hari kemudian situasi perkampungan semakin tidak nyaman.

Anjing terus menggonggong ayam pun terus berkokok ketika larut malam. Subaraya pun mencari tahu penyebab dari kejadian ini. Subaraya memanggil seorang dukun bernama Koki Kaha untuk mencari penyebabnya.

Dan ternyata di samping tempat yang rata tersebut ada sebatang pohon kepapa ada seekor naga berkepala tujuh.

Naga inilah yang menyebabkan suasana kampong menjadi tidak nyaman. Namun Koki Kaha, sendiri tak mampu menangkapnya, akhirnya dia memanggil dukun yang lain diantaranya Wayo’ Nogoama Keban, Suba Litoama Kaha, Lepe Lagaria hayon untuk membantunya. Koki menyuruh agar naga itu ditembak, namun naga itu berbalik melompat dan melilit Suba Letoama.

Melihat hal itu, Lepe Lagaria hayon dengan busur dan anak panah yang ujungnya tumpul berhasil memanah naga tersebut. Naga tersebut bernama Aru.

Setelah berhasil dipanah oleh Lepe Lagaria Hayon, masyarakat pun beramai-ramai memusnahkan binatang pengganggu tersebut dan bangkainya di buang di sisi sebuah tempat bernama Besa Wutu.

Setelah binatang pengganggu di bunuh, Subaraya dan rakyatnya membuat ritual di bawah pohon lo’o. tak lupa pula member sesajian pada bapa timu ema wara, mereka melilit kain ketipa dan sebatang gading (bala) di pohon lo’o tersebut berhasil ditumbangkan oleh Leyo Kaha.

Maka yang semula kampung itu diberi nama Lewo gika uku’, tana lega lara’ diganti menjadi Lewo pi bala nawa- tana pi kora’ goka. Setelah semuanya berhasil dilaksanakan, masyarakat pun hidup sebagaimana biasanya.

Namun pertikaian antara mereka terus menerus terjadi. Akhirnya dewan empat besar (semata pa) yang mencerminkan kepemimpinan partisipatif mengatur dan mengurus masyarakat yang bertikai hingga mereka semua hidup dalam suasana penuh kedamaian dan ketentraman. 

Dengan kedamaian dan ketentraman ini, maka mereka mengubah nama kampong menjadi Lewo bala lama haru- tana haru’ lama dike, yang kemudian dikenal dengan Balawelin.