Salah Satu Kegiatan oleh Para Wanita adalah Menenun Kain saat itu/ Dok |
Negeri Paus - Kilas balik sejarah, kita melihat bagaimana misi para misionaris Dominikan selama 60 tahun (1561-1621) melakukan pekerjaan yang maha berat di Nusantara.
Gereja Katolik pada abad ke-16 dipimpin oleh para kaum Klerus dan berpusat pada sakramen-sakramen yang dilayani oleh para klerus. Oleh karena itu saat kejadian pada tahun 1834 ketika semua imam Dominikan diusir dari daerah misi Portugis, maka umat ditinggal merana sendirian. Kesendirian umat itu membuat pelayanan sakramen yang berkesinambungan menjadi tidak terlaksana. Katekismus dilupakan. Namun iman umat masih dikatakan dapat dipelihara meski mengalami kemunduran.
Iman umat yang masih ada itu, pada tahun 1621 sampai 1850, kira-kira sekitar 200 tahun umat di Larantuka dan Sikka mampu bertahan dalam ke katholikan tanpa Kitab Suci dan pelayanan sakramen yang berkesinambungan seperti yang telah di jelaskan diatas.
Sehingga di Lembata juga hanya dilakukan pembaptisan dan di Larantuka yang bertahan hanyalah Ziarah-ziarah Pekan Suci saat ketika seluruh suku berhimpun.
Realitas ini menunjukan bahwa pada saat itu selama berabad-abad, patung-patung, kapela-kapela, madah-madah dalam bahasa Portugis dan latin, serta Kapela-kapela dan pakaian warna-warni simbol kedudukan dan kewibawaan digunakan untuk menghidupkan misteri paskah.
Sehingga akhirnya dua wilayah ini yakni Larantuka dan Sikka dijadikan sebagai pusat penginjilan oleh para imam Yesuit pada abad 19.
Berbicara mengenai abad ke - 19 para penjajah Belanda membagi kepulauan di Indonesia menjadi beberapa bagian diantara berbagai Gereja.
Gerja-gereja injili sering kali bekerja sama dengan pemerintah penjajah. Lalu para misionaris mengusahakan izinan dari raja atau pemimpin adat setempat untuk diberikan izin agar dapat mewartakan injil kepada anak-anak mereka.
Kemudian mereka mendirikan sekolah-sekolah agar umat dapat membaca Alkitab. Semenjak tahun 1897, lembaga-lembaga Alkitab sudah dilibatkan dalam menerjemahkan Alkitab ke dalam sejumlah besar bahasa daerah di Indonesia.
Garis peristiwa di atas memberikan suatu kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi umat. Sehingga pada kegiatan misi tetap di Lembata oleh Pastor Yosef Hoeberechts SY mulai membuat kelompok umat dan mulai mendidiknya. Dengan begitu mulailah sekolah pertama untuk umat di Lamalera.
Kapela yang juga digunakan sebagai ruang sekolah itu merupakan rumah pastoran. Dimana awal pelajaran membaca dan menulis dimulai dalam ruangan itu pada tahun 1913.
Hingga pada tahun 1914 Pastor Hoeberchts SY mengadakan pertemuan dengan Kakang untuk rencana pendirian sekolah. Maksud yang baik itu kemudian disambut baik pula oleh masyarakat sehingga pada 31 Oktober 1915 Pastor Hoeberchts SY bisa menyelenggarakan upacara pemberkatan bangunan sekolah itu.
Catatan sejarah oleh para misonaris mengungkapkan betapa dicintainya pater Hoeberechts oleh para umat di Lamalera. Bukan hanya karyanya, tetapi sebagai sosok bapa bagi anak-anak (umat) di Lamalera yang meneduhkan.
Pada akhirnya peletak dasar pendidikan di Lamalera ini harus berpamitan dengan umat pada tanggal 11 April 1917 untuk memulai tugas barunya ke Jawa.
Kisah perpisahan pastor Hoeberechts SY ini dapat di ketahui sebagai berikut (Buku Pater Alex Beding SVD);
Pada tanggal 20 April 1917, tepatnya di Lamalera, ia berpamitan dengan umat yang dimulai dari Desa A dan kemudian ke Desa B. Ada juga seorang murid membacakan sepucuk surat lalu kemudian di balas oleh Pastor Hoeberechts dalam sambutannya.
Dari sumber yang sama kita bisa melihat tulisan P. van der Velden SY dalam majalah Sint Claverbond yang menggambarkan perpisahan itu;
"Sesudah paskah, Pastor Hoeberchts mengadakan perjalanan terkahir ke Lamalera di pulau Lomblem, sebuah desa nelayan sederhana di bagian Timur Flores. Suatu perpisahan yang mengharukan sudah dipersiapkan oleh orang-orang yang baik hati itu baginya. Pada saat ia harus naik naik perahu yang akan membawanya ke Larantuka, P. Hoeberechts harus duduk dahulu di muka rumah Kakang, diapit oleh para pemuka desa. Di hadapanya sebuah lingkaran besar para wanita terkemuka mengambil tempat, sedangkan di belakang mereka seluruh masyarakat berdiri berjejal-jejal. Lalu para ibu itu mulai membawa suatu nyanyian ratap yang disambut oleh semua hadirin bersama-sama."
Nyanyian itu adalah:
"Sekarang bapa mereka pergi meninggalkan mereka untuk tidak kembali lagi seperti dahulu. Ia telah mengasihi mereka seperti anak-anaknya, dan mereka mencintai dan menghormatinya sebagai bapa mereka. Kini dia akan pergi kedaerah nun jauh di Barat. Mereka memohon agar bapa tak melupakan mereka".
Gambaran singkat karya misi di salah satu wilayah di Nusa Tenggara. Beberapa tempat yang menjadi markas besar misionaris Yesuit adalah di Flores Timur di Larantuka dengan basis-basis di Lela, Koting dan Sikka di Maumere.
Misi para misionaris pertama adalah membaptis anak-anak dari pemimpin adat. Catatan sejarah menunjukan proses pembaptisan kepada anak-anak itu berlangsung ketika tahun-tahun pertama anak-anak bersekolah di Sekolah Dasar. Namun setelah 3 tahun, mereka kembali ke kampung mereka dimana agama kosmik tua mereka berasal. Oleh karena itu, karya misi tidak bisa mengubah nilai, kepercayaan atau pun moral orang-orang pribumi Nusa Tenggara.
Pada tahun 1917, mereka meninggalkan kira-kira 30.000 orang Flores yang telah dibaptis, yang terus berpegang pada wawasan budaya dan simbolisme religius leluhur mereka.
Baca Juga: 1 Maret 1913 Pater Piet Noyen SVD - Ada Apa di Lahurus dan Larantuka?